Opini

Dana Partisipasi Pemilih Hapus Politik Uang?

Salah satu hal menarik dalam perjalanan pemilu di Indonesia, khususnya pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 22-24/PUU-VI/2008 adalah maraknya dugaan politik uang. Penulis menyebut dugaan, karena walau dikatakan marak, faktanya dalam pelaksanaan penegakan hukum pemilu, hampir tidak pernah ada putusan yang membatalkan terpilihnya seorang calon legislatif yang telah diputuskan terpilih dalam pleno KPU. Hal ini karena salah satunya Bawaslu mengalami kesulitan untuk menemukan bukti dan fakta  yang mengarah pada dugaan adanya politik uang sehingga peristiwa atas dugaan tersebut menjadi peristiwa hukum yang sulit dimintai pertanggungjawaban hukum kepada pelaku. Dugaan adanya politik uang telah menjadi momok dan racun demokrasi, apalagi semenjak tahun Pemilu 2009 digelar. Kenapa marak semenjak 2009, karena semenjak pemilu di tahun itulah, kontenstasi politik bukan hanya antar partai politik, tetapi sudah masuk ke intern calon disatu partai politik. Masing-masing calon berlomba mendapatkan suara terbanyak sehingga mempunyai peluang terpilih menjadi anggota legislatif. Adapun pada pemilihan kepala daerah yang (sepertinya) dimulai ketika pemenang ditentukan dengan suara terbanyak absolut. Artinya, siapapun yang mendapatkan suara terbanyak dinyatakan sebagai pemenang, tanpa memakai persyaratan 50 persen + 1 atau persyaratan jumlah tertentu, sebagaimana dituangkan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Politik uang disebabkan beberapa faktor; Pertama kemiskinkan. Sebagai mana yang kita telah ketahui, angka kemiskinan di Indonesia ini sudah sangat tinggi. Kondisi ini kadang memaksa sebagian masyarakat untuk segera mendapat uang. Ditengah keterbatasan ini, politik uang justru muncul dan membuat masyarakat mengambilnya. Mereka terkadang mereka tidak pikirkan konsekuensi dari uang yang diterima itu bagian dari suap dan jual beli suara yang jelas melanggar hukum. Kedua rendahnya pengetahuan masyarakat. Tidak semua orang tahu apa itu politik, bagaimana bentuknya serta apa yang ditimbulkan dari politik. Itu semua bisa disebabkan karena tidak ada pembelajaran (yang cukup) tentang politik di sekolah-sekolah atau masyarakatnya sendiri yang memang acuh terhadap politik. Kondisi ini menyebabkan maraknya politik uang. Masyarakat yang acuh dengan pemilu atau pemilihan dengan mudah menerima pemberian dari para peserta pemilu. Ketiga kebudayaan. Ungkapan rejeki tidak boleh ditolak kadang jadi alasan masyarakat menerima politik uang. Pemberian dari peserta pemilu dianggap sebuah rejeki. Budaya sejatinya merupakan sesuatu yang luhur namun justru melenceng dan disalahartikan oleh masyarakat. Berdasarkan data empiris dan informasi penulis dapatkan, maka penulis mencetuskan ide Negara harus secepatnya bertindak dan bersikap untuk mencegah pemilu/pemilihan di 2024 dan sesudahnya agar tidak terjadi lagi maraknya dugaan politik uang, dengan melakukan kebijakan pemberian dana partisipasi pemilih. Dana partisipasi pemilih yang bias disingkat dengan  Daparlih, diberikan kepada pemilih yang hadir memberikan hak suaranya di TPS. Pemilih setelah selesai memilih, mendapatkan Daparlih yang diberikan melalui KPPS sebesar Rp 100.000/pemilih. Dengan Daparlih sebesar itu setidaknya negara perlu menyiapkan anggaran Rp200 Triliun dengan estimasi DPT 200 juta pemilih. Agar tidak memberatkan negara bisa menabung Rp40 Triliun untuk Daparlih ini yang pada tahun kelima terkumpul Rp200 Triliun. Apakah dengan diberikan Daparlih ada jaminan money politik akan hilang? Suatu pertanyaan yang akan muncul jika ide Daparlih ini dicetuskan, termasuk ketika penulis wacanakan ketika diskusi dengan teman-teman magister hukum di Unisri. Ini upaya akhir dan agar memberikan manfaat yang maksimal, maka uoaya lain juga harus ditingkatkan kualitasnya. Hukuman bagi calon yang  terbukti melakukan politik uang diancam dengan pembatalan hasil dan jika terlanjut dilantik perbuatan politik uang itu baru ketahuan kemudian, maka Bawaslu harus berani bersidang dan memutuskan memberikan rekomendasi kepada KPU untuk membatalkan SK penetapan sebagai calon terpilih. Beranikah kita mencoba ??? Kita tunggu political will dari pemerintah saat ini. (*)

Optimalisasi Fitur Media Sosial Dalam Sosialisasi Kepemiluan

Oleh: Muhammad Yusran G Penata Kelola Pemilu Ahli Muda KPU Kota Jakarta Utara Di dalam Pasal 14 huruf c, 17 huruf c, dan 20 huruf c  Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum disebutkan bahwa KPU, KPU Provinsi, serta KPU Kabupaten /Kota berkewajiban untuk menyampaikan semua informasi Penyelenggaraan Pemilu kepada masyarakat. Penyampaian informasi tersebut dapat dilakukan salah satunya melalui aktivitas sosialisasi yang bertujuan untuk menyebarluaskan informasi terkait pelaksanaan pemilu, informasi tentang peserta pemilu, dan aturan teknis dalam mencoblos kertas suara, serta penghitungan perolehan suara. Kegiatan sosialisasi merupakan salah satu ruang bagi KPU untuk menggalang dukungan positif dalam menyukseskan penyelenggaraan pemilu. Salah satu indikator kesuksesan dalam melakukan sosialisasi adalah kehadiran pemilih dan melakukan pencoblosan kertas suara di hari H pemilu. Desain strategi dalam meraih dukungan publik dalam pelaksanaan pemilu dan pemilihan secara efektif dewasa ini ialah dengan memanfaatkan media sosial. Hal tersebut ialah karena perkembangan media sosial sudah semakin pesat mengingat peran teknologi sudah tidak bisa dilepaskan dari setiap lini kehidupan manusia. Selain itu, saat ini masyarakat lebih menikmati melakukan komunikasi melalui jejaring online bahkan masyarakat dari semua kelas ekonomi sudah terakses dengan internet. Sebagai lembaga penyelenggara pemilu dan pemilihan, KPU memiliki 549 satuan kerja yang tersebar di seluruh Indonesia di mana setiap satkernya memiliki media sosial yang terdiri dari website, twitter, facebook, instagram, tik tok, hingga youtube. Jumlah tersebut merupakan modal yang sangat besar bagi KPU dalam menjangkau semua pemangku kepentingan dan juga masyarakat  dari semua golongan guna menyosialisasikan informasi terkait pemilu dan pemilihan kepada masyarakat luas. Ditambah setiap sumberdaya manusia yang bekerja di KPU juga memiliki media sosial pribadi masing-masing. Jika KPU dapat mengoptimalkan hal tersebut dalam  mengorganisir setiap satkernya dengan menyediakan hashtag, template konten, serta menjadwalkan waktu penayangan di mana setiap orang akan mengunggah konten yang seragam secara konsisten di waktu yang berdekatan, maka besar kemungkinan informasi yang disebarkan oleh KPU menjadi viral atau trending topic. Viralnya konten kepemiluan di media sosial dapat berdampak pada tersampaikannya informasi kepemiluan kepada masyarakat secara mudah dimana informasi tersebut dapat muncul sewaktu-waktu di beranda media sosial masyarakat. Salah satu konten interaktif yang dapat dilakukan oleh KPU ialah dengan mengaktifkan fitur-fitur terbaru dari setiap media sosial, seperti membuat video atraktif melalui reels pada Instagram, poll dan question stickers pada Instagram, siaran langsung atau live room bersama figur kepemiluan pada Instagram dan Facebook, jajak pendapat atau polling pada Twitter, serta mengadakan kuis berhadiah yang berkaitan dengan kepemiluan yang dapat meningkatkan engagement dengan masyarakat dalam pelaksanaan sosialisasi yang berujung pada tingginya angka pemilih yang memberikan hak suara di TPS. Dengan demikian, informasi terkait pemilu dan pemilihan dapat tersampaikan secara baik kepada masyarakat, dan KPU dapat mewujudkan salah satu manifestasi kedaulatan rakyat berupa pelibatan langsung masyarakat dalam proses demokrasi, yang dalam hal ini adalah pemilu dan pemilihan. (*)