Opini

Pemilu 2029: Benahi Partai Politik dan Fokus Pendidikan Pemilih

Oleh: Assist Prof. Mochammad Farisi, LL.M

Kamis kemarin (04/09), saya mewakili rekan-rekan Pusat Kajian Demokrasi dan Kebangsaan (Pusakademia) serta Komunitas Peduli Pemilu dan Demokrasi (Kopipede) Provinsi Jambi menyerahkan kajian teknis “Sistem Pemilu 2029: Mempertahankan Sistem Proporsional Terbuka dengan Perbaikan Tata Kelola Rekrutmen Caleg dan Pendanaan Partai Politik” pada KPU Prov. Jambi 

Dalam waktu dekat, kajian ini akan dibahas lebih mendalam melalui forum diskusi kelompok terarah (FGD) yang diselenggarakan KPU. Namun, sebelum FGD tersebut berlangsung, izinkan saya membagikan garis besar isi kajian ini melalui opini berikut, agar publik mendapat gambaran awal mengenai arah pemikiran yang kami tawarkan untuk memperkuat demokrasi Indonesia menjelang Pemilu 2029.

siapkan kopimu, seruput .... Iqra'

Perdebatan soal sistem pemilu kembali mencuat setelah Mahkamah Konstitusi menolak gugatan sistem proporsional tertutup pada Juni 2023 lalu. Keputusan itu menegaskan, Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka, di mana rakyat bisa langsung memilih calon anggota legislatif. Pertanyaannya: apakah sistem ini masih relevan untuk Pemilu 2029?

Jawaban saya: ya, sistem proporsional terbuka perlu dipertahankan. Masalahnya bukan pada “mesinnya”, melainkan pada “sopirnya”. Mesin demokrasi kita sudah benar, tapi pengelolaan partai politik, tata kelola pendanaannya, serta kesadaran pemilih masih jauh dari ideal. Karena itu, alih-alih mengutak-atik sistem, fokus perbaikan seharusnya diarahkan pada tiga hal mendasar: rekrutmen calon legislatif, transparansi pendanaan partai politik, dan pendidikan pemilih.

Rekrutmen yang Elitis dan Transaksional

Realitas di lapangan menunjukkan, proses pencalonan anggota legislatif kerap berlangsung tertutup. Siapa yang diusung partai bukan ditentukan oleh integritas atau kapasitas, melainkan kedekatan, kekerabatan, atau—lebih parah—besarnya mahar politik. Akibatnya, caleg yang terpilih lebih sering lahir dari popularitas instan ketimbang kaderisasi jangka panjang.

Sistem seperti ini jelas berbahaya. Ia berpotensi melahirkan wakil rakyat yang tidak amanah, korup, dan jauh dari nilai hikmat kebijaksanaan sebagaimana diamanatkan sila keempat Pancasila. Untuk mencegah hal itu, perlu aturan nasional yang mengikat semua partai dalam hal rekrutmen caleg.

Standar minimal yang bisa diatur melalui peraturan pemerintah atau Permendagri misalnya: transparansi proses seleksi, akuntabilitas publik, inklusivitas bagi perempuan, pemuda, dan penyandang disabilitas, serta penerapan merit system. Dengan begitu, caleg yang dihasilkan bukan hanya populer, tetapi juga berintegritas dan kompeten.

Pendanaan Partai: Pintu Masuk Korupsi Politik

Aspek kedua yang tak kalah genting adalah soal pendanaan partai politik. Selama ini laporan dana kampanye sering hanya formalitas. Banyak sumber dana gelap yang tidak pernah tercatat. Donasi dari pemodal besar rawan berujung pada praktik state capture corruption—kebijakan publik dikuasai oleh kepentingan segelintir orang.

Karena itu, mekanisme pengawasan harus diperketat. Partai politik seharusnya diwajibkan melaporkan pemasukan dan pengeluaran secara real time di portal publik. KPK dan BPK harus dilibatkan aktif, bukan sekadar KPU. Batas donasi individu maupun korporasi juga harus dipersempit, dan setiap aliran dana wajib melalui sistem perbankan agar mudah diaudit.

Lebih jauh, pelanggaran terkait dana politik jangan lagi hanya dianggap pelanggaran administratif. Ia harus dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Prinsip ini sejalan dengan Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC) 2003, yang mewajibkan negara meningkatkan transparansi pendanaan partai politik.

Pendidikan Pemilih: Kunci Demokrasi Berkualitas

Selain dua aspek di atas, ada satu hal yang tak kalah penting: pendidikan pemilih. Pemilu yang sehat tak akan terwujud bila masyarakat—khususnya generasi muda—tidak melek politik.

Sayangnya, program pendidikan pemilih selama ini masih bersifat seremonial dan musiman, baru ramai menjelang pemilu. Padahal, momen terbaik untuk membina kesadaran politik justru adalah sekarang—saat tahapan pemilu belum dimulai.

KPU, Bawaslu, Kemendagri, pemerintah daerah, hingga Kesbangpol seharusnya mengambil peran proaktif. Misalnya, dengan membuat program pendidikan politik yang kreatif dan kekinian: konten digital yang menarik di TikTok, Instagram, atau YouTube; kompetisi debat politik pelajar dan mahasiswa; festival demokrasi di kampus dan sekolah; atau podcast interaktif bersama tokoh publik.

Lebih dari itu, perlu dibentuk agen demokrasi dari kalangan pelajar, mahasiswa, organisasi kepemudaan, dan komunitas lokal yang secara rutin dibina untuk memberikan edukasi politik yang sehat—politik tanpa uang, tanpa intimidasi, dan tanpa ujaran kebencian. Mereka bisa menjadi “relawan literasi politik” yang bergerak terus-menerus di tengah masyarakat, tidak hanya menjelang pemilu.

Dengan cara ini, generasi muda tak sekadar menjadi objek kampanye, tetapi benar-benar subjek yang kritis dan rasional dalam menentukan pilihannya.

Menjaga Demokrasi Tetap Bermakna

Sistem proporsional terbuka sejatinya adalah kompromi terbaik bagi Indonesia. Sistem ini menjaga kedaulatan rakyat sekaligus memberi akuntabilitas personal kepada caleg terpilih. Namun, jika tidak dibarengi perbaikan tata kelola partai, transparansi pendanaan, dan pendidikan pemilih, ia hanya akan melahirkan demokrasi prosedural yang kering makna.

Pemilu 2029 adalah momentum penting. Dengan menegakkan standar rekrutmen caleg berbasis integritas, transparansi penuh dalam pendanaan partai, dan pendidikan politik berkelanjutan bagi generasi muda, kita bisa tetap mempertahankan sistem terbuka sekaligus menghadirkan wajah baru demokrasi yang lebih bersih, inklusif, dan berorientasi pada kepentingan rakyat.

Pada akhirnya, demokrasi tidak boleh berhenti pada soal siapa yang dipilih. Demokrasi harus memastikan bahwa yang terpilih benar-benar berjiwa negarawan—hikmat dan bijaksana dalam mewakili rakyatnya.

------------

Penulis adalah: Dosen Fakultas Hukum Universitas Jambi, Direktur Pusat Kajian Demokrasi dan Kebangsaan (Pusakademia) dan Ketua Komunitas Peduli Pemilu dan Demokrasi (Kopipede) Prov. Jambi

 

Bahan bacaan

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 tentang Sistem Pemilu Proporsional Terbuka, Jakarta, 15 Juni 2023.

Wilhelm Hofmeister, Democracy and Party Systems in Developing Countries, Konrad Adenauer Stiftung, Singapore, 2011.

“Politik Uang Masih Warnai Pemilu di Asia Tenggara”, ugm.ac.id, 26 September 2013, https://ugm.ac.id/id/berita/

“Pakar: Politik Uang di Indonesia Tertinggi Ketiga di Dunia”, CNN Indonesia, 30 November 2023, https://www.cnnindonesia.com/nasional/

International Foundation for Electoral Systems, “Political Finance, Center for Anti-Corruption and Democratic Trust”, https://www.ifes.org/

Didik Supriyanto, Demokrasi dan Pemilu: Negara, Pemerintah, dan Partai Politik, Perludem, Jakarta, 2021.

Yuyun Dwi Puspitasari, “Derajat Transparansi Partai Politik dalam Seleksi Bacaleg 2019,” Jurnal Pemilu dan Demokrasi, Perludem, Jakarta, 2019.

Else Suhaimi, Hukum Kepartaian Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Depok, 2021.

Richard S. Katz, “Changing Models of Party Organization and Party Democracy: The Emergence of the Cartel Party,” Sage Journal, Vol. 1 No. 1, 1995.

Syamsuddin Haris dkk., Naskah Kode Etik Politisi dan Partai Politik, Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK bekerja sama dengan Pusat Penelitian Politik LIPI, Jakarta, 2016.

Komnas HAM RI, “Ancaman Oligarki dan Kelangsungan Hak Asasi Manusia”, 8 September 2020, https://www.komnasham.go.id/

Mochammad Farisi, “Rekonstruksi Hak Politik: Usulan Protokol Tambahan ICCPR dan Reformasi Partai Politik”, hukumonline.com, https://www.hukumonline.com/berita/a/rekonstruksi-hak-politik--usulan-protokol-tambahan-iccpr-dan-reformasi-partai-politik-lt682c1c6c49f5d/ 

Virdatun Nisail Islahiyah, Implementasi Pasal 29 Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik terhadap Proses Rekrutmen dan Kaderisasi Partai Politik Perspektif Maslahah Mursalah, Skripsi, Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, 2020.

Tri Pranadji, “Partai Politik dan Kualitas Legislatif”, dalam Satya Arinanto (ed.), Memahami Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009.

Hernadi Affandi, Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia, Pusham UII, Yogyakarta, 2007.

Thomas Aquinas, De Regno, Book 1, Chapter 4.

Transparency International, “Mendorong Transparansi dan Akuntabilitas Keuangan Partai Politik: Langkah-Langkah Konkret untuk Memperkuat Demokrasi”, https://transparansi.id/mendorong-transparansi-dan-akuntabilitas-keuangan-partai-politik-langkah-langkah-konkret-untuk-memperkuat-demokrasi/

Kantor Staf Presiden, “Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Stagnan, KSP: Terjadi Politik Biaya Tinggi”, https://www.ksp.go.id/indeks-persepsi-korupsi-indonesia-stagnan-ksp-terjadi-politik-biaya-tinggi.html 

Irvin S.T. Sihombing, “Reformulasi Demokrasi Internal Partai Politik: Sebuah Upaya Mencari Negara Demokrasi yang Hakiki,” Jurnal Pemilu dan Demokrasi, No. 11, Perludem, Jakarta.

Mochammad Farisi, “Partai Politik dalam UNCAC: Aktor Kunci dalam Pencegahan Korupsi”, jambione.com, https://www.jambione.com/news/1366470742/partai-politik-dalam-uncac-aktor-kunci-dalam-pencegahan-korupsi

Mochammad Farisi, “UNCAC: Menata Kembali Transparansi dan Akuntabilitas Partai Politik”, jambiekspres.disway.id, https://jambiekspres.disway.id/read/701442/uncac-menata-kembali-transparansi-dan-akuntabilitas-partai-politik/60

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 13 kali