Opini

Pendaftaran dan Verifikasi Parpol, "Hidangan Pembuka" Tahapan Pemilu 2024

TEPAT pada  tanggal 9 Juni 2024 lalu, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 3 tahun 2024  tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2022 secara resmi ditetapkan oleh KPU RI dan telah diundangkan oleh pihak Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia (Menkum dan HAM). Artinya, landasan hukum pelaksanaan tahapan demi tahapan Pemilu 2024 sudah tersedia. Mulai dari tahap persiapan, perencanaan dan pogram sampai dengan tahapan penetapan hasil pemilu dan pengucapan sumpah janji calon terpilih. Tahapan Pemilu 2024 juga akan di-launching secara resmi Oleh KPU RI pada Selasa 14 Juni 2024. Hal ini tentu menandai pelaksanaan tahapan Pemilu tahun 2024 secara resmi akan segera dimulai. Setelah penyusunan perencanan dan program, tahapan selanjutnya pemilu 2024 atau bolehlah kita sebut dengan istilah "hidangan pembuka" tahapan pemilu 2024 adalah dimulainya pelaksanaan tahapan Pendaftaran, verifikasi  dan penetapan Partai Politik calon Peserta Pemilu tahun 2024. Menengok jadwal yang telah ditetapkan, tahapan pendaftaran Partai Politik calon peserta pemilu akan dimulai pada 29 Juli 2022 dan berakhir 13 Desember 2022. Dengan kata lain tahapan ini akan berjalan selama empat bulan lebih sedikit. KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu diberi tugas oleh undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, tepatnya dalam pasal 176. Yaitu,  mengamanahkan KPU untuk membuka pendaftaran Partai Politik Peserta pemilu paling lambat 18 bulan sebelum hari pemungutan suara, yang jatuh pada 14 Februari 2024. Berkaca pada pengalaman Pemilu 2019 lalu, tahap pendaftaran, verifikasi, dan penetapan Partai Politik sebagai peserta pemilu cukup berdinamika. Hal tersebut ditandai dengan diujinya (Judicial Review) ketentuan pasal yang mengatur tentang syarat pendaftaran Partai kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Dan pada akhirnya MK memutuskan dalam putusan Nomor 53/PUU-XV/2017 yang berkonsekuensi seluruh Parpol peserta pemilu 2019 harus lulus verifikasi administrasi dan verifikasi faktual oleh KPU. Menilik Kesiapan Parpol untuk Jadi Peserta Pemilu Berangkat dari pengalaman Pemilu tahun 2019 tersebut, persiapan menyongsong pemilu 2024 sepertinya sudah lebih siap. Biasanya setiap pemilu selalu berganti Undang-undang Pemilunya. Contohnya saja, pada Pemilu 2014 diatur oleh Undang Undang 8 tahun 2012, dan Pemilu tahun 2019 diatur dalam UU Nomor7 tahun 2019. Tapi untuk Pemilu 2024 tetap menggunakan UU nomor7 tahun 2017. Kembali membahas tentang verifikasi Parpol calon peserta pemilu 2024. MK telah mengeluarkan Putusan nomor 55/PUU-XVIII/2020 yang isinya putusannya sebagai berikut : Partai Politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 serta lolos atau memenuhi parlementary threshold pada Pemilu 2019 tetap diverifikasi admiistrasi secara administrasi namun tidak dierifikasi secara faktual. Adapun partai politik yang tidak lolos atau tidak memenuhi ketentuan parlementary threshold, serta partai yang memiliki keterwakilan di tingkat DPRD provinsi dan kabupaten kota, dan partai yang tidak mempunyai keterwakilan ditingkat DPRD Provinsi dan Kabupaten Kota diharuskan dilakukan verifikasi kembali secara administrasi dan secara faktual. Dan tersebut juga berlaku untuk Partai politik yang baru. Mendasarkan pada putusan MK tersebut, maka Partai Politik calon peserta pemilu 2024 digolongkan menjadi 3 kriteria, yaitu:   1. Parpol calon peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara minimal 4 (empat) persen dari perolehan suara sah secara nasional hasil Pemilu 2019 dan tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota (tidak memperoleh kursi di DPR RI, DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota). 2. Parpol calon peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan minimal 4 (empat) persen dari perolehan suara sah secara nasional hasil Pemilu 2019 dan memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota (hanya memperoleh kursi di DPRD Provinsi dan/atau DPRD Kabupaten/Kota). 3. Parpol calon peserta Pemilu yang memenuhi ambang batas perolehan suara minimal 4 (empat) persen dari perolehan suara sah secara nasional hasil Pemilu 2019 /memiliki keterwakilan di DPR RI (Parpol yang memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2019). Maka sebagai konsekuensi atas putusan MK ini, untuk dapat menjadi peserta Pemilu 2024 maka parpol baru atau bukan peserta pemilu 2019 dan/atau parpol yang tidak memiliki kursi di DPR RI (kriteria pada angka 1,dan 2) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1. Harus mendaftar dan menyerahkan persyaratan sebagai peserta pemilu sebagaimana ketentuan pasal 173 ayat (2) ke KPU RI. Tetap dilakukan penelitian administrasi atas persyaratan tersebut serta tetap dilakukan verifikasi faktual atas persyaratan parpol peserta pemilu 2024. 2.Sedangkan bagi parpol peserta pemilu 2019 yang memenuhi ambang batas 4 empat persen (memiliki kursi di DPR RI) harus memenuhi syarat harus mendaftar dan menyerahkan persyaratan sebagai peserta pemilu sebagaimana ketentuan pasal 173 ayat (2) ke KPU RI. Tetap dilakukan penelitian administrasi atas persyaratan parpol peserta pemilu 2024 dan tidak dilakukan verifikasi faktual. Maka terhadap sembilan Parpol di DPR RI yaitu PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, Demokrat, PKS, PAN dan PPP, tidak dilakukan verifikasi faktual pada pendaftaran Parpol untuk pemilu 2024. Kemudian tentunya bagi Parpol calon  peserta pemilu2019 yang tidak ada perwakilan di DPR RI serta Parpol yang baru akan dilakukan verifikasi faktual. Jika menilik kesiapan Parpol untuk menjadi peserta pemilu 2024 tentu ada beberapa perbedaan tentunya. Namun, satu hal yang pasti KPU selaku penyelenggara Pemilu tetap konsisten dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan sesuai dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu. Beberapa Antisipasi KPU KPU konsisten menerapkan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu. Tentunya supaya seluruh proses tahapan pendaftaran, verifikasi dan penetapan Parpol Peserta Pemilu 2024 berjalan penuh integritas. Mengacu pengalaman pemilu 2019, tahap ini berpotensi menimbulkan beberapa gugatan. Karena Parpol dinyatakan tidak lolos verifikasi sehingga tidak ditetapkan menjadi peserta pemilu. Beberapa potensi problem pada tahap ini terjadi karena adanya kegandaan kepengurusan, kegandaan keanggotaan, anggota yang menyatakan bukan anggota atau tidak mengetahui telah tercatat sebagai anggota parpol. Serta problem teknis input data ke dalam SIPOL karena waktu yang terbatas. Termasuk juga Parpol mempertanyakan dasar hukum mewajibkan penggunaan Sipol dalam peraturan KPU. Atas pengalaman itu, dalam Persiapan Verifikasi Parpol Pemilu 2024 KPU telah merumuskan beberapa langkah pembaharuan. Misalnya saja, proses pendaftaran Parpol yang dipusatkan di KPU RI oleh pengurus Parpol tingkat pusat. Selain itu, KPU kabupaten kota akan mengecek dan memverfikasi  keanggotaan Parpol melalui SIPOL yang telah diinput sebelumnya oleh operator Parpol. Sehingga lebih effesien dalam penggunaan kertas atau less paper.             Terakhir, tentu kita berharap tahap demi tahap Pemilu 2024 dapat berjalan dengan baik, aman, lancar, dan tentunya sukses dalam penyelenggaraan. *Anggota KPU Kota Jambi Penulis: Hazairin, SH, MH Editor: Ikbal Ferdiyal

Mengawal Demokrasi pada Pemilihan 2020

Memasuki Tahun 2020 sebanyak 9 provinsi, 37 kota, dan 224 kabupaten mulai disibukkan dengan pehelatan Pemilihan Kepala Daerah. Sesuai Undang-undang (UU) 10 Tahun 2016 Pasal 201 ayat 6 disebutkan bahwa “Pemungutan suara serentak Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2015 dilaksanakan pada bulan September tahun 2020”. Kemudian pada Peraturan KPU (PKPU) No 16 Tahun 2019 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan, bahwa pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah 2020 akan digelar pada Rabu 23 September 2020. Pemilihan Kepala Daerah 2020 menjadi perhatian bersama berbagai elemen publik. Pertama karena menjadi pemilihan terakhir yang waktu pelaksanaanya tidak dilakukan secara serentak nasional. Empat tahun berikutnya akan digelar Pemilihan Serentak pada 2024 dimana 34 provinsi dan 504 kabupaten/kota secara nasional akan melaksanan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota. Hal ini tertuang dalam UU 10 Tahun 2016 Pasal 201 ayat 8, “Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.” Sisi menarik lainnya, Pemilihan 2020 dilaksanakan tidak lama setelah penetapan hasil Pemilu 2019. Tentu saja masih sangat berbekas semua hal yang terjadi di Pemilu 2019 baik langsung maupun tidak, sedikit banyaknya akan terbawa di momentum Pemilihan 2020. Indonesia masih perlu banyak belajar tentang demokrasi khususnya dalam kontestasi pemilihan. Bercermin dari Pemilu 2019, isu politik masuk ke berbagai elemen masyarakat nyaris tidak terkendali. Begitu cepat dan massive berkembang lewat jejaring media dan forum. Dari ruang kelas sampai pos ronda, dari ruang rapat sampai warung kopi, dari kampus sampai ruang keluarga, isu politik selalu menjadi topik seru untuk diperbincangkan. Dalam konteks partisipasi publik, situasi seperti itu tentu saja sangat membantu dalam pencapaian target partisipasi pemilihan. Pesan demokrasi sangat mudah sampai dan menyerap sampai ke akar rumput. Obrolan politik bukan lagi menjadi konsumsi elit tetapi sudah menjadi obrolan ringan di tengah masyarakat. Dampaknya memang luar biasa terasa, kesadaran tentang hak demokrasi perlahan tumbuh dengan sangat pesat seketika. Hal ini bisa dibuktikan dengan tingkat pencapaian partisipasi pemilih yang hadir ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) di tanggal 17 April 2019 kemarin meningkat cukup tajam hampir di semua daerah. Secara nasional peningkatan partisipasi pemilih melonjak cukup tinggi dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Pada Pemilu 2014 tingkat partisipasi pemilih untuk pemilihan presiden mencapai 69,58 persen dan pemilihan legislatif 75,11 persen. Sedangkan di Pemilu 2019 tingkat partisipasi untuk pemilihan presiden meningkat sampai 81,97 persen begitupun dengan pemilihan legislatif meningkat sampai 81,69 persen. Pencapaian itu adalah kabar baik untuk penyelenggara pemilu, karena mampu melewati batas minimal target partisipasi nasional di angka 77,5 persen. Namun, di tengah kesadaran masyarakat terhadap hak demokrasi pemilu sudah sangat tinggi, ternyata belum berimbang dengan kematangan dan kedewasan pemilih dalam menyikapi perbedaan pilihan. Dampaknya adalah fanatik berlebihan terhadap pilihannya dan budaya sikap polos yang akut dalam menerima berita dan informasi yang belum jelas kebenaran faktanya. Akhirnya, nuansa demokrasi tidak lagi dihadirkan dengan narasi yang santun dan sejuk. Masyarakat sebagai pemilih tepecah kedalam kelompok yang semakin hari semakin menguat dan kokoh. Figur pilihannya dihadirkan sebagai sosok “suci” yang sempurna, sementara pilihan lain diwujudkan dalam sosok yang sangat antagonis dan penuh dengan “dosa”.  Sikap fanatik berlebihan seperti ini dialami bukan hanya oleh masyarakat akar bawah yang berpendidikan rendah, namun kaum elit pun ikut saling menyulut dan menyikut. Akhirnya sulit membedakan mana berita dan informasi faktual dan mana berita hoax. Semua yang diberitakan baik terhadap figur pilihannya akan dinilai sebagai fakta, begitupun sebaliknya. Tentu saja ini menjadi pekerjaan rumah bersama, khususnya penyelenggara pemilihan. Bagaimana menciptakan pendidikan pemilih yang ramah dan menyentuh langsung terhadap pemilih, agar mampu menghadirkan narasi demokrasi menjadi narasi yang selalu menarik, seru, ramai namun tetap sejuk dan nyaman diikuti. Menghadirkan Pilkada Berkualitas Gembira dan Kecewa dengan hasil Pemilu 2019 kemarin mungkin masih berbekas, tetapi harus kembali digairahkan semangat demokrasi yang sehat di masyarakat, khusususnya di beberapa daerah yang menggelar hajat Pemilihan Kepala Daerah. Tentu bukan hanya menjadi tanggung jawab penyelenggara pemilihan baik KPU dan Bawaslu, tetapi harus menjadi gerakan bersama agar iklim demokrasi yang damai mewujud dan hadir di tengah masyarakat. Paling tidak ada tiga entitas yang dengan perannya masing-masing harus memiliki visi yang sama untuk menghadirkan kontestasi Pilkada yang berkualitas, yaitu Peserta Pemilihan, Pemilih, dan Penyelenggara Pemilihan. Pertama, Peserta Pemilihan – dalam hal ini Pasangan Calon baik dari unsur Partai Politik maupun perseorangan. Pasangan Calon harus dipastikan memainkan perannya sesuai dengan aturan dan ketentuan yang berlaku. Ikuti seluruh tahapan pencalonan dengan baik dan tertib. Mulai dari pendaftaran, verifikasi, penetapan pasangan calon, kampanye, proses pemungutan suara, sampai  dengan penetapan hasil, lalui seluruh proses tahapan dengan asas jujur dan terbuka. Pastikan setiap tahapan yang dilewati, dilakukan dengan sebaik-baiknya. Kedua, Pemilih – dalam hal ini masyarakat yang diatur oleh Undang-undang untuk menggunakan hak pilihnya dalam Pilkada. Sebagai pemilik mutlak hak suara, dalam demokrasi yang sangat menggantungkan jumlah dukungan suara terbanyak, sepantasnya Pemilih memiliki peran kritis dalam menggunakan hak pilihnya. Pemilih harus mengenali setiap pasangan calon yang ada dalam Pilkada. Bukan hanya profil personal tetapi program dan gagasan yang ditawarkan. Mulailah memilih menggunakan nalar dan visi yang memajukan. Pemilih yang progresif akan membiarkan perbedaan pilihan menjadi sangat alami di tengah masyarakat. Tidak perlu ruangnya dipertajam apalagi saling memantik konflik. Disaat waktunya bertemu dengan sanak dan kawan yang berbeda pilihan, bersikaplah dewasa dan tetap membaur dengan perbedaaan itu.  Tetap dalam satu meja tertawa dan riang bersama teman-teman yang berbeda pilihan bisa menjadi wujud kecil Pilkada mulai dihadirkan dengan rupa yang menyejukan. Ketiga, Penyelenggara Pemilhan – dalam hal ini KPU sebagai penyelenggara teknis pemilihan, Bawaslu sebagai badan pengawasan dan penindakan proses pemilihan, dan DKPP sebagai badan penindakan kedisiplinan kode etik penyelenggara pemilihan. KPU beserta organ turunannya PPK, PPS, dan KPPS harus menjalankan fungsinya sebagai penyelenggara teknis professional. Menjalankan semua tahapan pemilihan berjalan dengan baik sesuai aturan. Begitupun Bawaslu, secara serius mengawal proses perjalanan tahapan pemilihan dengan sebaik-baiknya. Bila diperjalanan tahapan muncul temuan pelanggaran,  Bawaslu harus mampu melakukan penindakan secara tegas dan adil dengan tidak ada keberpihakan terhadap kepentingan manapun. Yang terakhir adalah DKPP yang harus mampu melakukan penindakan disiplin etik penyelenggara pemilihan. Dengan sikap tegas DKPP, diharapkan tidak lagi ada penyelenggara pemilihan yang menggadaikan integritasnya demi kepentingan pribadi atau kelompok. Bila tiga entitas dalam Pemilihan Kepala Daerah tesebut berhasil menjalankan peran dan fungsinya dengan sebaik-baiknya, maka harapan bersama untuk terwujudnya Pemilihan Kepala Daerah yang damai, aman, santun pasti akan terwujud. Sebaliknya, bila ketiga entitas atau salah satu dari entitas menyalahi peran dan fungsinya, sudah dipastikan nilai dan kualitas Pemilihan Kepala Daerah akan rusak. Mulailah dari kita, sahabat, teman, dan keluarga sebagai bagian dari masyarakat demokrasi untuk menggaungkan spirit baru dalam menciptakan kontestasi yang semarak namun tetap sejuk dan damai. Gagasan KPU RI dengan program sosialisasi forum warga berbasis keluarga semoga menjadi terobosan yang harus terus dioptimalkan disemua daerah pada momentum Pemilihan Kepada Daerah 2020. Visinya sudah benar, menghadirkan semangat dan kesadaran demokrasi secara sehat mulai dari rumah dan keluarga. Semoga pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah 2020, mampu menghasilkan pemimpin yang berkualitas yang dapat memajukan daerahnya. (*)

Catatan Kecil Diawal 2020

Tahun 2020 merupakan tahun politik, tahun diselenggarakannya Pemilihan Serentak di 270 daerah di Indonesia. Pada fase ini situasi politik sangat dipengaruhi oleh dinamika yang terjadi.  Dinamika yang pada umumnya akan dirasakan selama proses tahapan pelaksanaan Pemilihan Serentak, bahkan hingga proses pemungutan suara 23 September 2020 mendatang. Situasi hangat pada proses penyelenggaraan demokrasi memang hal yang biasa terjadi, tidak hanya di pemilihan kepala daerah, kondisi hangat juga lumrah ada di pemilihan legistlatif (pileg) atau  pemilihan presiden (pilpres). Hal ini jadi satu bukti bahwa demokrasi berjalan dinamis, cara berpikir masyarakat yang mulai kritis ini tentunya membawa angin segar bagi kemajuan demokrasi di Indonesia. Tanggung jawab menjaga situasi yang hangat ini agar tidak kemudian terjadi anarkisme tentu bukan hanya tugas penyelenggara pemilihan, pasangan calon dan para pendukungnya juga harus menciptakan demokrasi yang baik. Dan masyarakat selaku ujung tombak pemilihan mempunyai peran memastikan langsung umum bebas rahasia (luber) jujur dan adil (jurdil) tetap terlaksana. Pemilih cerdas tidak akan mudah terhasut dan terprovokasi dengan pemberitaan bohong (hoaks), demi terjaganya demokrasi. Dan bagi penyelenggara, menjaga marwah lembaga adalah yang utama. Keterbukaan tidak boleh dipinggirkan, sebab melalui keterbukaan lah masyarakat dapat melihat hasil kerja penyelenggaraan. Pengawasan yang dilakukan masyarakat juga membantu terciptanya kualitas pemilihan yang baik, sebab semua pihak yang bertugas mengikuti aturan perundang-undangan yang berlaku, tidak ada lagi penyimpangan baik oleh penyelenggara, bakal calon kepala daerah maupun para pendukung. Oleh karena kita semua berharap pelaksanaan pemilihan serentak kali ini menjadi milik bersama, berjalan dengan baik tanpa keluar dari aturan yang sudah ditetapkan. Secara garis besar, tahapan pemilihan diatur PKPU 15 Tahun 2019. Didalamnya ada pesan agar prosesnya berjalan secara demokratis. Begitu juga penyelenggara pemilihan harus memegang prinsip: mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif dan efisien. Semoga di tahun politik 2020 ini, pemilihan serentak bisa terselenggara dengan baik dan lancar. KPU selaku penyelenggara di setiap daerah dapat bekerja secara maksimal dan berintegritas, menjaga netralitas, juga menghasilkan pemilihan yang diinginkan oleh semua pihak. Pemberitaan yang sedang hangat saat ini hendaknya menjadi pelajaran dan cermin dalam melaksanakan tugas selaku penyelenggara pemilu. Begitu juga calon kepala daerah agar membantu terwujudnya demokrasi yang baik tanpa ada kecurangan atau pun politik uang. Ingat bahwa harapan masyarakat untuk kemajuan daerah berada di pundak calon kepala daerah terpilih, jangan ada korupsi demi percepatan pembangunan disegala bidang. (*)

DEMOKRASI TIDAK IDEAL AKAN TETAPI DIBANDINGKAN SISTEM YANG LAIN DEMOKRASI ADALAH YANG TERBAIK

Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif pria kelahiran Nagari Calau Sumpur Kudus, Sijunjung, Sumatra Barat, 31 Mei 1935 adalah seorang ulama, ilmuwan dan pendidik Indonesia. Beliau pernah menjabat Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP) dan pendiri Maarif Institute, dikenal sebagai seorang tokoh yang mempunyai komitmen kebangsaan yang tinggi. Sikapnya yang plural, kritis, dan bersahaja telah memposisikannya sebagai “Bapak Bangsa”. Ia tidak segan-segan mengkritik sebuah kekeliruan, meskipun yang dikritik itu adalah temannya sendiri. Bersama dua adik sepupunya, ia diajak belajar ke Yogyakarta oleh M. Sanusi Latief. Namun, sesampai di Yogyakarta, niatnya semula untuk meneruskan sekolahnya ke Madrasah Muallimin di kota ini tidak terwujud, karena pihak sekolah menolak menerimanya di kelas empat dengan alasan kelas sudah penuh.Tidak lama setelah itu, ia justru diangkat menjadi guru bahasa Inggris dan bahasa Indonesia di sekolah tersebut. Pada saat bersamaan, ia bersama Azra’i mengikuti sekolah montir sampai akhirnya lulus setelah beberapa bulan belajar. Setelah itu, ia kembali mendaftar ke Muallimin dan akhirnya ia diterima tetapi harus mengulang kuartal terakhir kelas tiga. Selama belajar di sekolah tersebut, ia aktif dalam organiasi kepanduan Hizbul Wathan dan pernah menjadi pemimpin redaksi majalah Sinar (kini dibawahi oleh Lembaga Pers Mu’allimin), sebuah majalah pelajar Muallimin di Yogyakarta. Dalam usia 21 tahun, tidak lama setelah tamat dari Muallimin, ia berangkat ke Lombok memenuhi permintaan Konsul Muhammadiyah dari Lombok untuk menjadi guru. Sesampai di Lombok Timur, ia disambut oleh pengurus Muhammadiyah setempat, lalu menuju sebuah kampung di Pohgading tempat ia ditugaskan sebagai guru. Setelah setahun lamanya mengajar di sebuah sekolah Muhammadiyah di Pohgading, sekitar bulan Maret 1957, dalam usia 22 tahun, ia mengunjungi kampung halamannya, kemudian kembali lagi ke Jawa untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Surakarta. Sesampai di Surakarta, ia masuk ke Universitas Cokroaminoto dan memperoleh gelar sarjana muda pada tahun 1964. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya untuk tingkat sarjana penuh (doktorandus) pada Fakultas Keguruan Ilmu Sosial, IKIP (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta) dan tamat pada tahun 1968. Selama kuliah, ia sempat menggeluti beberapa pekerjaan untuk melangsungkan hidupnya. Ia pernah menjadi guru mengaji dan buruh sebelum diterima sebagai pelayan toko kain pada 1958. Setelah kurang lebih setahun bekerja sebagai pelayan toko, ia membuka dagang kecil-kecilan bersama temannya, kemudian sempat menjadi guru honorer di Baturetno dan Solo. Selain itu, ia juga sempat menjadi redaktur Suara Muhammadiyah dan anggota Persatuan Wartawan Indonesia. Selanjutnya mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam ini, terus meneruskan menekuni ilmu sejarah dengan mengikuti Program Master di Departemen Sejarah Universitas Ohio, AS. Sementara gelar doktornya diperoleh dari Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat, Universitas Chicago, AS, dengan disertasi: Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia. Selama di Chicago inilah, anak bungsu dari empat bersaudara ini, terlibat secara intensif melakukan pengkajian terhadap Al-Quran, dengan bimbingan dari seorang tokoh pembaharu pemikiran Islam, Fazlur Rahman. Di sana pula, ia kerap terlibat diskusi intensif dengan Nurcholish Madjid dan Amien Rais yang sedang mengikuti pendidikan doktornya. Saat dijumpai, “Buya“, panggilan akrabnya di Jogja, berkenan untuk memberikan beberapa catatan tentang penyelenggaraan Pemilu di Indonesia. Beberapa catatan beliau sangat penting sebagai masukan berarti bagi bangsa. Catatan-catatan beliau diberikan kepada penyelenggara, peserta pemilu, masyarakat sebagai pemilih maupun terhadap regulasi yang memayungi penyelenggaraannya. Catatan pertama beliau adalah agar Indonesia tetap menganut Demokrasi sebagai sistem, yang pada jaman Habibie dibuka krannya besar-besar. Dalam demokrasi, partai politik sebagai bagian penting di dalamnya. Namun, partai politik di Indonesia harus lebih berupaya memberikan pendidikan politik bagi kadernya, sehingga tidak hanya sebagai politisi, namun setiap kadernya dapat lebih berkembang menjadi seorang negarawan. Satu kritik pada penyelenggaraan Pemilu kali ini adalah banyaknya KPPS yang meninggal dunia setelah melaksanakan tugas dalam pemungutan dan penghitungan suara, beban tugas para penyelenggara ad hoc ini cukup berat pada pemilu serentak 5 kotak ini, diharapkan kejadian ini tidak terulang kembali. Buya Syafii Maarif bahkan telah menuliskan kritik ini, menurutnya penyelenggaraan Pemilu Serentak perlu dievaluasi. Buya berpendapat bahwa Pemilu tidak perlu lagi dilaksanakan serentak karena menimbulkan beberapa kesulitan pada penyelenggaraannya. Melihat KPU dalam melaksanakan amanat undang-undang untuk menyelenggarakan Pemilu Serentak kali ini, pria yang sejak tahun 1953, dalam usia 18 tahun, telah meninggalkan kampung halamannya untuk merantau ke Jawa ini berpendapat bahwa KPU telah melaksanakan tugasnya secara cukup baik, koordinasi dengan Bawaslu dan stakeholder lainnya juga dipandang telah dilakukan secara baik, namun beliau berpesan agar ke depan KPU bekerja lebih hati-hati dan lebih teliti. “Yang duduk sebagai KPU seharusnya tidak hanya 1 periode akan tetapi paling tidak 2 periode” yakni selama 10 tahun untuk memastikan tercukupinya pengalaman dalam penyelenggaraan Pemilu. Pria yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah pariode 1998 sampai dengan 2005 ini juga berharap, Pemilu dapat dilaksanakan secara lebih efisien. Menurutnya, Pemilu masih diselenggarakan dengan biaya yang cukup “mahal” bagi negara. Belum lagi uang yang beredar dari setiap peserta Pemilu sebagai konsekuensi biaya politik yang harus diselenggarakan pada masa kampanye. “Tahapan kampanye dapat lebih dipersingkat jangan terlalu lama” menurutnya tahapan kampanye yang berlangsung selama 8 bulan ini tidak efisien lagi. Aktif dalam komunitas Maarif Institute guru besar Universitas Negeri Yogyakarta Yogyakarta ini, juga rajin menulis, di samping menjadi pembicara dalam sejumlah seminar. Sebagian besar tulisannya adalah masalah-masalah Islam, dan dipublikasikan di sejumlah media cetak. Selain itu ia juga menuangkan pikirannya dalam bentuk buku. Bukunya yang sudah terbit antara lain berjudul: Dinamika Islam dan Islam, Mengapa Tidak?, Kemudian Islam dan Masalah Kenegaraan. Atas karya-karyanya, pada tahun 2008 Syafii mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay dari pemerintah Filipina. “Tiap-tiap daerah punya karakteristik sendiri-sendiri, seharusnya penyelenggaraannya dapat dicatat untuk dapat menjadi evaluasi, sehingga potensi-potensi kerawanan masing-masing daerah dapat diantisipasi. Kuncinya adalah selalu dengan adanya evaluasi terhadap diri sendiri.” pesan pungkas beliau saat dijumpai.

Perempuan Harus Terlibat Dalam Proses Politik

Proses Demokrasi di Indonesia hingga saat ini sudah berjalan dengan baik, salah satu indikatornya adalah pemilihan umum yang berjalan dengan aman dan damai serta tingkat partisipasi pemilih sangat tinggi. Di Kabupaten Magelang sendiri pemilu berjalan sukses dengan tingkat partisipasi pemilih selalu mengalami peningkatan. Tercatat pada Pemilu 2014 tingkat partisipasi pemilih pada pemilu legislatif sebesar 82,68 persen sementara untuk pemilu presiden 79,54 persen. Keduanya meningkat pada Pemilu Serentak 2019 dimana tingkat partisipasi sebesar 85,96 persen. Pada Pemilu 2019 juga jumlah pemilih perempuan di Kabupaten Magelang tercatat cukup tinggi sebanyak 496.567 orang. Adapun pemilih laki-laki sebanyak  492.312orang. Persentase pemilih perempuan 50,21 persen ini menandakan bahwa di Kabupaten Magelang jumlah pemilih perempuan lebih banyak daripada pemilih laki-laki. Abraham Lincoln mengatakan bahwa demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Berbicara tentang rakyat tentu tidak terlepas dari kelompok laki-laki dan perempuan. Perempuan sebagai warga negara berhak untuk dipilih dan memilih, namun realitanya menunjukkan perempuan masih berada di posisi sebagai pendulang suara dalam setiap proses pemilihan umum. Bahkan hanya dijadikan objek untuk kepentingan partai politik sebagai pendulang suara terbesar. Perempuan masih belum memiliki kesadaran bagaimana harus memilih dan bagaimana memilih pemimpin yang baik yaitu memilih pemimpin yang mempunyai kepekaan terhadap isu-isu keperempuanan seperti masalah angka kematian ibu dan anak, stunting, pemberian ASI eksklusif, kesehatan reproduksi perempuan, anak dan gizi serta isu lainnya. Dari hal-hal tersebut diatas sudah saatnya perempuan ikut andil terlibat secara aktif dalam proses politik baik ditingkat lokal maupun ditingkat nasional. Sebagai penduduk mayoritas dinegeri ini sudah saatnya perempuan terlibat secara langsung memperjuangkan isu-isu diatas. Ironis ketika wajah negeri ini didominasi masih tingginya kekerasan terhadap perempuan, meningkatnya angka kematian ibu dan anak atau tingginya angka putus sekolah dikalangan perempuan. Minimnya perempuan dalam pengambilan kebijakan menunjukkan bahwa perempuan belum menjadi bagian yang penting dalam proses pembangunan di negeri ini. Yang kedua masih minimnya anggota DPR/DPRD perempuan ini berdampak pada sedikitnya kebijakan yang dihasilkan untuk meningkatkan kesejahteraan perempuan belum lagi masih terdapat anggota DPR/DPRD yang kurang memiliki kesadaran dan sensitivitas terhadap pemenuhan kebutuhan perempuan sehingga mengakibatkan sedikitnya  produk kebijakan yang berpihak pada perempuan. Terakhir masih minimnya program pendidikan politik untuk perempuan sehingga perempuan masih kurang mendapat akses pendidikan politik. Sudah saatnya perempuan-perempuan yang ada dinegeri ini untuk bisa ikut ambil bagian dalam proses politik, karena hanya perempuanlah yang mampu memahami dan mengerti tentang masalah-masalah keperempuanan. (*)

Pemilihan Gembira Tanpa Cedera

Hampir sebulan lalu Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI meluncurkan secara resmi dimulainya tahapan persiapan Pemilihan Kepala Daerah 2020. Dikemas sekaligus dalam kegiatan Konsolidasi Nasional (Konsolnas) di Jakarta 23 September 2019, pesan dari peluncuran menuju satu tahun pelaksanaan Pemilihan 2020 yang disaksikan oleh KPU se-Indonesia ini adalah mempersiapkan diri sebaik mungkin menghadapi pemilihan di 270 daerah yang semakin dekat. Pemilihan 2020 sendiri sesungguhnya merupakan kelanjutan dari pemilihan serentak yang digelar sebelumnya. Indonesia telah menyelenggarakan pemilihan serentak pada Pemilihan 2015 (272 daerah), dilanjutkan dengan Pemilihan 2017 (101 daerah) dan Pemilihan 2018 (171 daerah). Semua pihak pasti berharap pelaksanaan Pemilihan Serentak 2020 juga dapat berjalan dengan sukses dan berkualitas seperti sebelumnya. Menurut Haywood dalam (Susetyo,dkk., 2015) salah satu fungsi pemilu (termasuk di dalamnya pemilihan kepala daerah) adalah sebagai sarana pendidikan politik bagi rakyat. Berangkat dari pemahaman tersebut maka sudah seharusnya Pemilihan 2020 juga mampu menjadi ruang pendidikan politik bagi rakyat secara nyata, baik dan benar. Pendidikan politik disini bukan diartikan masyarakat mengetahui dan hafal sekian banyak teori politik, sistem demokrasi, sistem pemilu tapi rakyat memahami dan menyadari bahwa kedaulatan yang dimilikinya wajib dilaksanakan dengan baik dan benar sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Urgensi atas pemahaman ini karena kedaulatan rakyat (yang dilaksanakan melalui hak memilih dalam pemilu maupun pemilihan) menjadi tolok ukur atas kualitas hasil pemilu atau pemilihan yang dilaksanakan. Semakin tinggi kesadaran pemilih terhadap proses pemilihan maupun terhadap calon yang dipilihnya, maka semakin tinggi pula harapan atas kualitas produk pemilihan yang dihasilkan. Belajar dan berkaca pada perjalanan Pemilu 2019 yang lalu, ternyata tidak mudah menciptakan suasana pendidikan politik yang berkualitas, baik dari sisi keamanan, kenyamanan, dan keadabannya. Suasana riuh rendah, dinamika saling dukung terhadap calon presiden dan wakil presiden yang terjadi memunculkan polarisasi di masyarakat hingga memunculkan istilah-istilah yang baru, aneh dan tidak enak didengar. Seperti munculnya istilah cebong dan kampret yang bertebaran menghiasi jagad media sosial. Istilah ini ternyata merepresentasikan julukan terhadap para pendukung masing-masing calon presiden dan wakil presiden selaku kontestan pemilu. Munculnya istilah ini bahkan seringkali membuat mereka terlibat saling hujat satu dengan yang lain. Entah dari pihak siapa yang memulai namun kondisi ini cukup menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi di masyarakat, bahwa sesuatu yang melenceng dari fungsi pemilu sebagai sarana pendidikan politik bagi masyarakat bisa membahayakan. Sungguh sebuah potensi buruk pendidikan politik bagi masyarakat apabila kondisi perpecahan terus terjadi dan tanpa kendali. Bangsa ini harus maju dan terdidik serta dibangun dengan informasi-informasi yang benar dan bermanfaat serta dengan cara yang bermartabat pula. Bangsa ini tidak boleh dibangun dengan cara saling hujat, saling merendahkan, menghina, dengan ungkapan-ungkapan tidak pantas serta informasi-informasi menyesatkan dan penuh kebohongan. Sebaliknya bangsa ini harus dibangun dengan sikap-sikap toleransi, penuh kesantunan, saling menghormati dan menghargai atas perbedaan serta saling dukung dalam membangun peradaban bangsa yang berkemajuan. Selanjutnya kedepan, dalam menjalani perhelatan Pemilihan Serentak 2019 kita wajib membangun suasana yang nyaman, aman dan damai sehingga tercipta suasana pendidikan politik yang kondusif dan berkeadaban. Situasi ini diharapkan pula meningkatkan partisipsi masyarakat dalam pemilihan yang bermuara pada legitimasi dari hasil pemilihan itu sendiri. Pemilihan sebagai cara yang telah disepakati oleh bangsa dalam memilih pemimpin di daerah berfungsi sebagai instrumen untuk memastikan terjadinya transisi dan rotasi kekuasaan secara demokratis. Pemilihan harus dijalankan dengan penuh kegembiraan dan tanggungjawab tanpa menghina dan mencela yang dapat mencederai legitimasi dan kualitas pilkada yang sedang diselenggarakan. Akhirnya mari songsong dan sukseskan pemilihan kepala daerah dengan hati yang gembira, memilih pemimpin daerah sesuai dengan pengetahuan dan hati nurani yang baik, tanpa intimidasi atau tekanan dari manapun dan oleh siapapun serta siap dan sanggup menerima hasil dengan lapang dada. Selamat menyambut dan menjalani tahapan Pemilihan Serentak 2020, pilihan kita adalah masa depan bangsa, pemilih berdaulat negara kuat. (*)