SURVEI KEPUASAN MASYARAKAT 2025 | Teman Pemilih mari cek Daftar Pemilih Kamu segera | Sidalih |Yuk Sukseskan Pendataan Pemilih | KPU Kota Jambi

Publikasi

Opini

OLEH : Gun Gun Heryanto Dinamika politik nasional menuju Pemilu 2024 semakin ramai, seiring dengan aksi-reaksi yang terjadi di antara kekuatan yang akan memasuki gelanggang pertarungan. Membaca situasi terkini, ragam kekuatan sudah mulai terkonsolidasi. Pengujung tahun ini dan awal tahun depan akan menjadi salah satu fase tersibuk partai politik. Selain harus bersiap dengan tahapan pemilu legislatif, juga harus intens membangun komunikasi politik lintas kekuatan guna mematangkan pengusungan capres dan cawapres yang akan menjadi kandidat resmi di Pilpres 2024. Kesalahan dalam memosisikan diri dan membuat keputusan akan berdampak pada peta kuasa mereka di masa mendatang.   Pembentukan Opini Parpol kini harus mengayuh di antara harapan publik yang tecermin dari opini publik yang berkembang, kepentingan partai lain, dan tentunya kepentingan politik mereka sendiri. Perlahan tapi pasti, politik yang tadinya sangat acak mulai membentuk pola yang harus dibaca secara cermat oleh elite partai. Sosiolog yang juga pakar komunikasi Jerman, Ferdinand Tönnies, dalam buku klasiknya, Kritik der öffentlichen Meinung (1922), membagi tiga tahap proses pembentukan opini publik. Tahap pertama, die luftartigen position. Pada tahap ini, opini masih sangat acak, tak menentu, dan publik mulai ramai memperbincangkannya. Di fase ini, semua yang berkeinginan menjadi capres ataupun cawapres umumnya memunculkan diri dalam beragam cara. Ada yang tebar pesona lewat medsos, baliho, videotron, bingkai berita media, ataupun karya nyata lewat jabatannya. Tahap pemunculan ini pastinya dikelola oleh mereka yang mau menjadi capres/cawapres melalui basis struktur partai, tim sukarelawan, konsultan, lembaga survei, ataupun jurnalis media massa dan warganet di media sosial. Tahap kedua, die fleissigen position. Pada tahap ini, opini publik telah membentuk pola. Opini terkonsolidasi pada mereka yang pro ataupun kontra. Masyarakat mengonsolidasikan diri menjadi pendukung, penentang, ataupun pihak yang belum menentukan pilihan. Jika melihat tren belakangan, berbagai survei opini publik oleh sejumlah lembaga survei menguatkan beberapa nama sebagai figur paling potensial untuk masuk ke gelanggang pertarungan. Sebagai contoh, jajak pendapat Litbang Kompas periode 24 September-7 Oktober 2022 menunjukkan tingkat elektabilitas Ganjar Pranowo mencapai 23,2 persen. Elektabilitas Prabowo Subianto di posisi kedua dengan 17,6 persen. Sementara Anies Baswedan berada di urutan ketiga, yaitu sebesar 16,5 persen. Ketiga nama itu kini selalu berada di urutan teratas meski dengan persentase yang bervariasi dan posisi urutan yang bersaing satu sama lain di sejumlah lembaga survei lainnya. Dari keacakan nama, opini mulai bisa dipolakan dan bisa menjadi bahan pertimbangan untuk pengambilan keputusan. Tahap ketiga disebut die festigen position, yakni tahap solidnya opini dan biasanya telah memunculkan mapan atau tetapnya opini publik di masyarakat. Kemungkinan mulai awal hingga pertengahan tahun depan opini soal kandidasi ini akan solid. Setelah paket ”kuda pacuan” capres- cawapres terdaftar secara resmi di KPU, opini publik kembali akan membentuk tahapannya lagi. Publik nanti akan merespons dengan memperbincangkan tiap-tiap paket pasangan, dan biasanya mulai terkonsolidasi di saat masa kampanye. Probabilitas perolehan suara sudah mulai bisa dihitung meskipun tentu bukan proses yang linear. Selalu muncul kejutan seiring dengan manajemen isu dan konflik yang dilakukan tiap-tiap pihak yang berkepentingan. Pada level tertentu, opini publik pun kembali akan solid dan potensi kemenangan bisa dipetakan menjelang hari pemilihan. Opini publik ini bisa menjadi sinyal untuk parpol tentang bagaimana seharusnya mereka merespons kehendak publik yang berkembang. Benar, bahwa opini sebagai respons aktif terhadap stimulus tidak akan pernah berada di ruang hampa. Selalu ada proses mengonstruksi opini oleh para pihak berkepentingan. Ada proses konstruksi yang menarik perhatian kemudian bisa dikonversikan menjadi hasrat, ketertarikan, penerimaan, dan dukungan, tetapi juga tak sedikit yang hanya direspons ala kadarnya oleh publik. Jika memaksakan nama yang bukan magnet elektoral menjadi capres ataupun cawapres, tentu akan jadi masalah serius dalam memenangi kompetisi. Mengapa tahap pembentukan opini publik saat ini lebih dini memasuki tahap die fleissigen position? Hal ini tak terlepas dari manuver Nasdem yang telah mendeklarasikan nama Anies sebagai capres. Hal ini menyebabkan intensitas komunikasi politik kian meningkat. Misalnya, perjumpaan Nasdem, PKS, dan Partai Demokrat. Fenomena yang sama dapat kita lihat di Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Politisi PPP, PAN, dan Golkar dari samar menjadi lebih eksplisit menyebut sejumlah nama, antara lain Ganjar, Ridwan Kamil, hingga Airlangga Hartarto. Tak ketinggalan, Gerindra dan PKB pun kian intens mematangkan rencana koalisi. Faktor lain yang membuat fase kedua mengemuka lebih awal adalah hasil survei berbagai lembaga yang selalu menempatkan Ganjar, Prabowo, ataupun Anies konsisten di urutan teratas. Hal ini turut mengakselerasi dinamika figur ke arah yang lebih terpola. Jika tak ada faktor luar biasa yang merusak situasi, kemungkinan parpol akan menjadikan pendekatan ilmiah membaca opini publik ini sebagai salah satu referensi dalam memutuskan pilihan.

Dr. phil. Aditya Perdana Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP UI Artikel ini dimuat oleh koran Sindo 22 Maret 2017   MARET ini, DPR RI melakukan kunjungan studi banding ke Jerman dan Meksiko dalam rangka mempelajari sistem pemilu di kedua negara. Berbagai reaksi negatif muncul karena biaya studi banding yang besar dan menyayangkan sikap DPR yang tidak mempertimbangkan secara serius masukan para ahli pemilu di Indonesia. Dalih DPR dalam melakukan studi banding ini adalah pendalaman terhadap isu-isu krusial terkait usulan perubahan sistem pemilu dari proportional representation (PR) menjadi mixed member proportional representation (MMP). Di kedua negara tersebut memang MMP sukses diterapkan. Namun pertanyaan yang paling mendasar untuk didiskusikan adalah mengapa hal tersebut penting dilakukan sekarang manakala kerumitan perubahan jadwal pemilu serentak akan dimulai pada 2019? Tulisan ini akan mencoba menganalisa pandangan politisi terkait agenda reformasi sistem pemilu. Urgensi Reformasi Sistem Pemilu  Esensi pemilu terletak pada sisi bagaimana mengubah suara pemilih menjadi kursi keterwakilan. Reformasi sistem pemilu juga memperdebatkan variabel kunci seperti formula pemilihan dalam menghitung kalkulasi alokasi kursi seperti yang diinginkan oleh para politisi. Secara umum, ada dua sistem pemilu di dunia yaitu sistem mayoritas plural dan sistem proportional represen­tation (PR). Sementara ada sebagian negara mengadopsi dua sistem yaitu mixed member proportional representation (MMP). Dalam beberapa studi tentang pemilihan umum yang dilakukan oleh Administration and Cost of Elections Project (ACE Project), perubahan dalam sistem pemilu dipengaruhi oleh dua kondisi. Pertama, para politisi yang kurang memahami secara rinci tentang perubahan yang diinginkan disertai dengan informasi yang juga kurang memadai dalam promosi sistem baru tersebut akan menimbulkan konsekuensi dan dampak yang memiliki pengaruh yang tidak diinginkan di kemudian hari. Pandangan ini akan sangat berbahaya manakala para pembuat kebijakan benar-benar tidak memperhitungkan risiko sosial dan politik ke depan. Kedua, para politisi yang me­mahami perubahan-perubahan yang rinci malah dengan baik mempromosikan perubahan karena mereka dengan sadar memahami ada kepentingan politik yang akan diraih oleh diri mereka sendiri ataupun partai politiknya. Kondisi yang terakhir memungkinkan akan terciptanya keajegan sistem pemilu di masa datang. Namun demikian, reformasi sistem pemilu adalah negosiasi para politisi, maka kita harus memahami bahwa pertimbangan yang terkait dengan kepentingan politik mereka menjadi sangat penting dalam setiap keputusan ini. Betul bahwa ranah pembuatan kebijakan politik seperti pemilu ada di tangan DPR dan pemerintah, namun masukan publik pun harus dihargai dan diakomodasi dalam proses pembuatan kebijakan ini, seperti yang kerap kali disampaikan oleh para aktivis LSM pemilu dan peneliti pemilu kita belakangan ini. Bahkan warga di British Columbia Kanada saja dapat terlibat dalam referendum sistem pemilu mereka pada 2009. Oleh karenanya, esensi keterlibatan publik itu diarahkan bahwa untuk membangun kelembagaan politik yang kuat tentu memiliki tujuan dalam menstabilkan peme­rintahan demokratis. Namun, ruang-ruang perubahan pun dapat diakomodasi agar tercipta kondisi yang lebih baik. Tren Perubahan Sistem Pemilu  Menurut laporan ACE Project, ada banyak negara yang melakukan langkah-langkah serius dalam perubahan sistem pemilu. Sebagian besar negara-negara di dunia memang melakukan perubahan tersebut dengan alasan untuk memperkuat derajat keterwakilannya, terutama menuju ke sistem PR. Sebagian negara-negara di dunia yang mengadopsi sistem mayoritas plural berubah menjadi MMP. Namun, berdasarkan laporan tersebut, tidak ada yang melakukan perubahan sebaliknya, dari mixed system ke majoritarian pluralist system. Yang menarik adalah, ada empat negara, menurut ACE Project, melakukan perubahan dari list proportional representation (PR) menjadi MMP. Negara tersebut adalah Bolivia, Vene­zuala, Romania, dan Ukraina. Dalam konteks itulah, seharusnya DPR mempertimbangkan kajian di empat negara ini karena perubahan yang diingin­kan searah dengan sistem yang kita anut saat ini, yaitu list PR. Sementara, Jerman dan Meksiko mengadopsi mixed system dalam kondisi yang stabil. Artinya memang benar terjadi adanya tren perubahan, tetapi DPR sendiri juga harus benar-benar serius melakukan kajian perubahan yang diinginkan. Quo Vadis? Setelah reformasi 1998, Indonesia mengalami perubahan sistem pemilu yang mendasar sebanyak dua kali yaitu pada 1999 dan 2004. Pada 1999, oleh karena adanya desakan kelompok mahasiswa yang kuat untuk melakukan reformasi kelembagaan politik, para politisi DPR dan pemerintah bersepakat untuk tetap melanjutkan sistem PR dengan daftar tertutup dan berbagai penyesuaian seperti multipartai yang baru diterapkan. Namun, perubahan drastis terjadi pada 2004 manakala sistem PR daftar tertutup menjadi daftar terbuka dengan menerapkan nomor urut di daftar kandidat. Alasan sistem yang lebih terbuka diterapkan adalah membuka kesempatan kepada masyarakat untuk dapat memilih langsung kandidat yang diinginkan. Sayangnya, sistem PR terbuka berdasarkan daftar urut pun ternyata tidak sepenuhnya menunjukkan hasil yang memuaskan. Kandidat terpilih pun masih ditentukan oleh kuasa pimpinan parpol karena alasan berdasarkan nomor urut. Sementara pada 2009, pemilih dapat se­penuhnya menentukan kandidat yang diinginkan tanpa intervensi oleh pimpinan partai. Sepanjang yang saya ketahui dan berbasarkan observasi di setiap pemilu setelah reformasi, para politisi DPR selalu berdebat tentang perubahan sistem pemilu di setiap lima tahun. Sejak 2007, debat terhadap sistem pemilu berkutat antara PR dengan daftar terbuka atau tertutup. Pada 2017 ini, diskusi reformasi sistem pemilu diarahkan adanya gagasan penerapan sistem MMP. Lalu pertanyaannya, mau dibawa ke mana arah reformasi sistem pemilu kita apabila di setiap menjelang pemilu selalu terjadi perubahan-perubahan krusial? Seperti yang kita ketahui, kepentingan para politisi terhadap reformasi pemilu memang didasarkan keinginan untuk mempertahankan suaranya di masing-masing dapil. Salah satu alasan yang rasional bagi pendukung MMP, misalkan, adalah memberi kesempatan mendapatkan kursi yang proporsional bagi partai-partai kecil dan menengah. Di samping itu, MMP juga menjamin adanya ikatan yang lebih kuat untuk dua hal, yaitu politisi dengan pemilihnya dan politisi dengan partai politiknya. Dua hal ini yang memang selalu menjadi alasan kuat di antara para politisi untuk melakukan reformasi sistem pemilu: ako­modasi kelompok partai politik yang kecil dan mem­perkuat hubungan politisi dengan partainya. Sayangnya, manakala DPR mengajukan diri untuk melakukan reformasi sistem pemilu agar keterwakilan politik kita menjadi lebih baik, hal tersebut malah dicorengi dengan perilaku mereka sendiri yang buruk di hadapan publik. Di samping itu, perilaku anggota DPR yang menafikan kajian serius para ahli pemilu kita dan lebih memilih melakukan studi banding ke negara lain dengan waktu relatif singkat, hal ini juga menunjukkan ketidakseriusan DPR dalam melakukan reformasi sistem pemilu yang mereka inginkan. Padahal seperti yang diingatkan oleh para ahli pemilu dunia dalam studi ACE Project, perubahan sistem pemilu membutuhkan pertimbangan-pertimbangan yang bersifat teknis dan perlu mengukur dampak serius serta matang yang harus diprediksi sejak jauh hari. Reformasi sistem pemilu bukan semata-mata diusulkan hanya demi kepentingan politisi dan partai politik saja. Oleh karena itu, saya berpandangan bahwa agenda kodifikasi UU Pemilu dan penyatuan jadwal pemilu pada 2019 adalah prioritas kebijakan yang perlu mendapat perhatian serius oleh DPR dan pemerintah ketimbang melakukan sebuah reformasi sistem pemilu yang belum terbayang dampak dan konsekuensi politik yang dihadapi nanti.

Alih-alih menjadi tonggak konsolidasi demokrasi, pelaksanaan pemilu 2019 justru menorehkan banyak catatan kritis bukan saja terkait penyelenggaraan pemilu serentak, tetapi juga persoalan integritas pemilu itu sendiri. Pasca pemungutan suara tanggal 17 April lalu, Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU-RI) mendadak menjadi pihak yang paling banyak mendapatkan serangan isu-isu negatif, terutama di media sosial. Setidaknya begitulah yang tergambar dari hasil analisis big data yang dilakukan Laboratorium Big Data Analytics PolGov UGM selama rentang waktu 12-22 April 2019. Berdasarkan data yang diambil dari jumlah dan sebaran percakapan di Twitter, ditemukan bahwa dari total 13.030 percakapan, lebih dari 50% menyerang KPU dengan tuduhan tidak netral dan berpihak kepada salah satu paslon. Penggunaan tagar #KPUberpihak #KPUtersandera #KPUtidaknetral pun ramai digunakan untuk mengekspresikan ketidakpercayaan pada KPU, yang dilakukan sepanjang periode pemilu: baik sebelum, saat dan sesudah hari pemungutan suara.  Lebih detil, laporan Big Data Analytics menyebutkan bahwa jumlah percakapan negatif yang menyerang KPU mencapai 8.498 percakapan, atau sekitar 54,9%. Angka ini jauh melebihi jumlah serangan yang didapatkan oleh paslon, dimana Paslon 01 hanya mendapat serangan isu negatif sebanyak 4.993 percakapan (32,3%) dan Paslon 02 sebanyak 1.995 percakapan (12,9%). Hasil analisis tersebut juga menemukan adanya variasi isu negatif yang menyerang KPU pada periode sebelum, saat dan sesudah hari pemungutan suara. Sebelum hari H pemilu, isu negatif yang menyerang KPU lebih banyak menyoroti soal kecurangan pemilu, dengan isi percakapan menyoal surat suara tercoblos, kecurangan di Malaysia, serta isu diretasnya server KPU. Pada hari H pemilu, isu negatif yang menyerang KPU lebih banyak merespon polemik terkait hasil hitung cepat (quick count) yang dirilis oleh beberapa lembaga survey. Adapun sebaran isunya mencakup percakapan tentang quick count, hitung cepat, hasil survey, penggiringan opini, dan soal surat suara yang sudah tercoblos. Sementara isu negatif yang menyerang KPU setelah hari pemungutan suara lebih berpusat pada isu kecurangan yang dilakukan oleh KPU, dengan isi percakapan terkait kecurangan, KPU tersandera, input tidak sesuai C1, dan manipulasi hasil suara oleh KPU. Terlepas dari benar tidaknya tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada KPU, satu catatan penting dari penyelenggaran pemilu serentak 2019 adalah banyaknya kasus-kasus pelanggaran dan beberapa indikasi kecurangan membuktikan bahwa PR besar untuk mewujudkan pemilu yang berintegritas ternyata masih belum tuntas. Selain menorehkan berbagai catatan kritis terkait problem keserentakan dan kerusakan tambahan (collateral damage) yang ditimbulkan, Pemilu 2019 ternyata juga menyisakan persoalan serius terkait integritas pemilu dan masa depan demokrasi di Indonesia. Alih-alih menjadi tonggak konsolidasi demokrasi, pelaksanaan pemilu 2019 justru menorehkan banyak catatan kritis bukan saja terkait penyelenggaraan pemilu serentak, tetapi juga persoalan integritas pemilu itu sendiri. Pemilu Berintegritas  Dalam kajian kepemiluan, istilah pemilu berintegritas termasuk baru populer beberapa tahun belakangan. Global Commision on Election, Democracy and Security mendefinisikanpemilu berintegritas sebagai pemilu yang berdasarkan atas prinsip demokrasi dari hak pilih universal dan kesetaraan politik seperti yang dicerminkan pada standar internasional dan perjanjian, profesional, tidak memihak dan transparan dalam persiapan dan tantangan utama pemilu berintegritas pengelolaannya melalui siklus pemilu (Global Comission 2012). Sementara definisi lebih ringkas ditawarkan oleh Elklit dan Svensson (1997), yang mendefinisikan pemilu berintegritas sebagai pemilu yang menerapkan prinsip bebas dan adil. Dalam pelaksanaannya, sebuah pemilu bisa dikatakan berintegritas jika seluruh elemen yang terlibat di dalamnya, baik penyelenggara maupun pe­ser­ta, tun­duk dan patuh pada nilai-nilai moral dan etika kepemiluan. Sebaliknya, jika sebuah pemilu tidak dilak­sa­na­kan de­ngan basis integritas, ma­ka akan ber­po­tensi melahirkan pe­nye­lenggara dan peserta pemilu yang ti­dak bertanggung jawab, yang ber­implikasi pada minimnya par­tisipasi politik dan hilang­nya kepercayaan publik pada pro­ses demokrasi (Nasef: 2012).  Di Indonesia sendiri, diskursus soal pemilu berintegritas ini sebenarnya telah digaungkan sejak dua dekade lalu. Pemilu 1999 bisa dibilang menjadi penanda dari dimulainya era pemilu yang bebas dan adil di Indonesia (setelah pemilu demokratis pertama pada tahun 1955). Namun dalam perkembangannya, diskursus pemilu berintegritas di Indonesia lebih banyak menyoroti tentang penyelenggara pemilu. Ada setidaknya tiga alasan mengapa integritas penyelenggara pemilu menjadi perhatian utama dalam diskusi pemilu berintegritas di Indonesia. Pertama, karena penyelenggara adalah pihak yang bertanggungjawab untuk menjamin adanya pemilu yang bebas dan adil, sehingga menjaga keyakinan publik terhadap proses demokrasi. Kedua, semakin kompleksnya teknis penyelenggaraan pemilu di Indonesia seiring dengan diterapkannya pemilu eksekutif dan pemilu legislatif baik di tingkat nasional maupun lokal. Terakhir, adanya berbagai potensi pelanggaran yang dilakukan oleh peserta dan penyalahgunaan kewenangan yang dimiliki oleh penyelenggara pemilu.  Indonesia pertama kali mengadopsi konsep etika penyelenggara pemilu melalui Peraturan Bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP Nomor 13 Tahun 2012, Nomor 11 tahun 2012 dan Nomor 1 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu, yang didalamnya memuat kode etik penyelenggara pemilu yang sesuai dengan standar dan norma internasional, yakni kemandirian, imparsialitas, integritas, transparansi, efisiensi, profesionalitas, dan berorientasi pelayanan. Namun dalam realitasnya, mewujudkan integritas penyelenggara pemilu ternyata bukan hal yang mudah. Riset Puskapol UI (2017) terkait pelanggaran etika penyelenggara pemilu menunjukkan bahwa sepanjang kurun waktu 2013-2017, terdapat 2.441 jumlah aduan pelanggaran etika yang diproses oleh DKPP sebagai Mahkamah Etik Pemilu. Meskipun sebagian besar (53,2%) hasil persidangan memberikan putusan rehabilitasi nama baik penyelenggara pemilu yang menjadi teradu, namun variasi jenis sanksi yang juga diberikan selama kurun waktu tersebut juga beragam, mulai dari peringatan, pemberhentian sementara, hingga pemberhentian tetap.  Yang menarik, sebagian besar kasus aduan yang diproses dan diputuskan oleh DKPP adalah pelanggaran asas kemandirian dan keadilan penyelenggara pemilu. Modus pelanggaran etika yang terjadi juga beragam: manipulasi suara, pelanggaran hak pilih, perlakuan tidak adil, pelanggaran hukum, pembiaran, kelalaian pada proses tahapan pemilu, hingga pelanggaran netralitas dan keberpihakan.  Temuan ini sesungguhnya mengkonfirmasi bahwa mewujudkan penyelenggara pemilu yang profesional, tidak memihak dan senantiasa transparan dalam pelaksanaannya merupakan tantangan utama menuju pemilu berintegritas (Global Commission on Election, 2012: 6).  Integritas Pemilu 2019? Lalu bagaimana dengan integritas Pemilu 2019? Jika melihat pada rekam jejak pelanggaran etika penyelenggara pemilu yang terjadi sepanjang kurun waktu 2013-2017, pesimisme atau bahkan ketidakpercayaan terhadap netralitas dan kemandirian penyelenggara pemilu boleh jadi sangat wajar. Apalagi, pemilu-pemilu pasca Orde Baru di Indonesia juga masih menghadapi persoalan serius terkait politik uang dan praktik politik klientelistik (Aspinall dan Berenschot 2019), yang menyasar bukan saja kelompok pemilih tetapi juga penyelenggara pemilu.  Dugaan bahwa praktik politik uang masih marak terjadi pada Pemilu 2019 juga cukup kuat. Berdasarkan data Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri atas Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia, Mata Rakyat Indonesia, Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), KoDE Inisiatif, SPD, FITRA, Yappika-ActionAid, Indonesian Parliamentary Center (IPC), TEPI Indonesia dan Indonesia Corruption Watch (ICW), serta Lingkar Madani, terdapat 44 temuan terkait politik uang selama masa tenang Pemilu 2019.Sementara laporan Bawaslu menyebutkan bahwa selama masa tenang, pengawas pemilu (panwas) sudah menangkap tangan 25 kasus politik uang di 13 provinsi di Indonesia, dengan temuan uang terbanyak didapat di Kecamatan Tigabinanga, Kabupaten Karo, Sumatra Utara, yakni sebesar Rp190 juta (kabar24.com, 16 April 2019).  Berkaca dari ini semua, sudah sepatutnya publik tetap perlu mengingatkan agar penyelenggara pemilu mampu menjaga prinsip dan etika penyelenggara pemilu agar kepercayaan publik kepada proses dan hasil pemilu bisa tetap terjaga. Hasil survey Charta Politik soal netralitas penyelenggara pemilu pada 5-10 April lalu yang menyatakan bahwa 84,7% responden percaya KPU netral sesungguhnya sudah menjadi modal sosial luar biasa bagi KPU. Itu sebabnya, di tengah polarisasi politik yang tajam diantara kedua kubu pendukung paslon, netralitas penyelenggara pemilu (baik KPU maupun Bawaslu) akan sangat diuji. Pada masa penghitungan suara yang masih berlangsung saat ini, dengan pengawasan yang tajam dari publik luas, kekeliruan kecil yang dilakukan oleh penyelenggara akan sangat mudah menimbulkan spekulasi dari berbagai pihak.  Akhir kata, semoga KPU mampu menjawab tantangan integritas dengan menunjukkan kerja yang cepat, transparan, profesional dan jujur, demi mewujudkan pemilu yang berintegritas dan membawa masa depan demokrasi yang lebih baik di Indonesia.  (PUSKAPOL)

Pemilu merupakan salah satu dari tolak ukur keberhasilan sistem demokrasi di suatu Negara. Pemilu yang dapat terlaksana dengan baik, berarti demokrasi dalam Negara tersebut pun baik. Pemilu merupakan kehendak mutlak bangsa Indonesia yang menetapkan dirinya sebagai Negara demokratis. Dalam konstitusi Negara Indonesua sendiri menyebutkan pemilu merupakan manivestasi kedaulatan rakyat. Pemilu yang diadakan setiap 5 tahun sekali ini sangat ditunggu-tunggu oleh berbagai pihak. Seperti warga negara yang menantikan pemilu ini sebagai harapan terjadinya suatu perubahan dan pergerakan ke arah yang lebih baik. Tidak hanya warga negara yang menantikan pemilu ini, tetapi juga para pejabat dan petinggi yang sudah menduduki bangku pemerintahan. Dalam pemilu ini para petinggi negara akan bertarung mempertahankan jabatan dan seperti ujian apakah rakyat akan memperpanjang mandatnya. Kemudian bagi partai politik, mereka menantikan event pemilu ini karena partai politik menginkan calon-calon yang diajukan oleh pihak partai dapat menduduki bangku pemerintahan menggantikan petinggi negara yang sudah ada. Kedaulatan rakyat yang tercermin dalam pemilu itu sendiri seperti memilih para wakil rakyat yang akan menduduki lembaga perwakilan rakyat baik tingkat pusat maupun daerah, atau memperpanjang jabatan dari para wakil rakyat. Calon-calon yang dipilih oleh partai akan mengkapanyekan diri mereka atas nama partai untuk memperoleh simpati dari masyarakat. Kampanye yang sudah sering dilihat masyarakat adalah pemasangan iklan dan umbul-umbul di sepanjang jalan, pembagian stiker, kaos, bahkan sampai ke sembako. Rakyat yang dijanjikan kesejateraan, kemakmuran, dan perekonomian pro-rakyat adalah bagian dari visi dan misi para calon. Pelaksanaan pemilu itu sendiri memiliki dua buah Prinsip Sistem Pemilihan Umum, yaitu sistem distrik (single-member contituency) dan sistem proporsional (multi-member contituety). Dalam masing-masing sistem terdapat kelebihan dan kekurangan pada pelaksanaanya. Lazimnya sebuah bangsa yang terus menata diri, perubahan demi perubahan pada sistem pemilu menjadi keniscahyaan. Seperti Indonesia yang pada setiap pelaksanaan pemilu mengalami pergantian prinsip sistem pemilu dari sistem distrik ke sistem proporsional atau kembali lagi ke sistem distrik. Beberapa waktu lalu Pemilihan Umum Kepala Daerah di salah satu Daerah Jawa Barat yang terdapat penyelewengan dalam penghitungan suara. Kemudian menghasilkan kandidat yang dari tahun ke tahun selalu memenangkan pilkada tersebut. Jika kandidat sudah bekerja sama dengan pihak pengawas pemilihan umum dan penghitung suara, lantas apa yang dapat diperbuat? Belajar dari sebelumnya, pemilu 2009 yang seperti diwarnai dengan banyak kecurangan. Kecurangan dalam penghitungan suara yang manual dan sejumlah TPS yang dikendalikan untuk berbuat curang. Mengapa pemilihan umum seperti ini dapat berjalan dengan mulus, padahal Negara Indonesia adalah Negara demokrasi? Jika pemenang sudah dapat ditentukan dari awal, untuk apa diadakan pemilihan umum? Apakah hal ini hanya merupakan simbol dan formalitas demokrasi? Mungkin Negara Indonesia belum benar-benar menerapkan demokrasi secara utuh. Belum benar-benar membuat rakyat yang menjadi kedaulatan tertinggi. Pilpres pertama pada era reformasi merupakan pertanda runtuhnya rezim otoriter sekaligus kedaulatan rakyat. Visi pemilu 1999 adalah menautkan antara kekuatan negara dengan kekuatan masyarakat madani, dengan formula Pemilu sebagai medium saling membangun saling percaya. Setelah itu pemilu kali kedua pada era reformasi di tahun 2004. Hal yang patut diacungi jempol adalah sudah mulai lahirnya kesadaran masyarakat akan demokrasi. Bila dibandingkan dengan pemilu sebelumnya tahun 1999, pemilu tahun 2004 lebih baik meskipun memiliki sejumlah kelemahan dalam pelaksanaannya. Pada pemilu ini kekuatan negara berangsur pulih dan kembali dipercaya sebagai pengelola pemerintahan bagi rakyat pemilih. Namun sayang, pada pemilu selanjutnya di era reformasi tahun 2009 seperti membalikkan ke arah jarum jam yang seharusnya sudah tidak terjadi lagi. Hal yang menyebabkan pemilu 2009 berbeda dengan dua pemilu sebelumnya 2004 dan 1999 adalah standarisasi penanganan, cara penyelesaian, serta tindak lanjut bagaimana mengatasi persoalan. Meskipun Indonesia menerapkan sistem pemilu dengan asas langsung, namun kenyataannya rakyat tidak dapat memilih secara langsung kandidat-kandidat yang akan maju. Partai lah yang mengajukan kandidat-kandidat yang akan mengikuti pemilihan umum untuk dipilih oleh rakyat. sistem seperti inilah yang disebut “Indirect Democration”. Jika rakyat masih saja tergiur dengan uang yang ditawarkan oleh beberapa partai tanpa melihat realisasi dari janjinya, maka Negara tidak akan dapat berkembang ke arah yang lebih baik lagi. Jika bangku kedudukan tersebut di duduki oleh orang-orang yang kurang berkompeten, maka kesejahteraan dan kemakmuran rakyat hanya sebuah utopia yang tak tersampaikan. Jika jabatan-jabatan tersebut tidak dilakoni oleh aktor-aktor yang memegang teguh amanat yang diberikan, maka tujuan untuk membela nasib rakyat hanya lah basa-basi. Seandainya rakyat mau lebih peduli dan lebih peka sedikit saja terhadap peran nya sebagai warga negara, mungkin rakyat tidak akan menyia-nyiakan hak pilihnya. Harapan rakyat yang di amanahkan kepada kandidat yang terpilih, seharusnya dijalankan dengan tulus dan ikhlas. Bukan di dasarkan kepada kepentingan diri sendiri. Rakyat juga hendaknya tidak menjadi sekedar ‘floating mass’ yang menjadi pendukung partai musiman saja. Tetapi benar-benar memantapkan diri dan melihat dari berbagai macam sudut sebelum memutuskan untuk memilih Karena itu, hendaknya kecurangan dalam pemilu sebelumnya dapat ditindak lanjuti dan segera dituntaskan. Kemudian menjadi pelajaran bagi rakyat untuk lebih jeli dan teliti dalam memilih. Hasil yang baik akan menimbulkan efek yang baik pula demi kepentingan seluruh rakyat nantinya.  Bukankah kita menginginkan pemilihan umum 2014 nantinya lebih baik lagi? Menjadi warga negara yang cakap, dan pihak-pihak pengawas yang mau tetap berintegritas dalam kejujuran adalah pokok-pokok yang penting demi terlaksananya pemilihan umum yang jujur, bersih dan menghasilkan hasil yang berkualitas. (OPINI KOMPAS.COM)

Oleh Delia Wildianti (Peneliti Puskapol UI) “Common enemy kita hari ini bukanlah rezim otoriter, tetapi demokrasi itu sendiri. Demokrasi telah dikorupsi oleh elit politik yang berhasil mentransformasikan diri melalui pintu demokrasi” Fenomena demokrasi pasca gelombang ketiga demokrasi (democracy’s third wave) hingga akhir abad 20 menunjukan bahwa kemunduran demokrasi berada di tangan para politisi yang terpilih secara demokratis, dari pada didorong oleh aktor-aktor extra sistemik seperti militer (militaries) atau kelompok pemberontak (insurgent groups). Regresi demokrasi ini dalam konteks Indonesia pasca pemilu 2019 ditunjukan oleh setidaknya tiga hal. Pertama,  revisi UU KPK yang dilakukan secara kilat dinilai melemahkan institusi KPK dan mencederai narasi anti korupsi yang menjadi semangat reformasi.  Pemberlakukan secara otomatis UU KPK (UU No. 19 Tahun 2019) dianggap menguntungkan elit politik tanpa melalui proses yang mengakomodasi aspirasi publik. Dengan demikian gerakan mahasiswa mendesak Presiden untuk mengeluarkan Perppu pembatalan UU KPK sebagai ujian keberpihakan presiden terhadap narasi antikorupsi tersebut. Fenomena yang sama terjadi di Malaysia tahun 2015, situasi politik Malaysia dihadapkan pada persoalan yang sarat dengan korupsi pemerintah dan otoritarianisme. Hal ini menjadi alasan yang melahirkan gelombang demonstrasi masyarakat (Bersih 4.0) dan menuntut reformasi kelembagaan serta mundurnya Najib Razak dari posisi Perdana Menteri. Kedua, regresi demokrasi terlihat dari pendekatan pemerintah dalam merespon tuntutan gerakan demonstrasi. Pemerintah Indonesia maupun Malaysia menggunakan pendekatan represif dalam merespon aksi demonstrasi. Dalam konteks Indonesia, pendekatan represif dilakukan dengan melakukan penangkapan terhadap 465 orang, 201 diantaranya adalah mahasiswa dan 10 orang warga masyarakat sipil meninggal dunia (Komnas HAM 2019; Kontras 2019). Hal yang sama terjadi di Malaysia, polisi Malaysia menyatakan Bersih 4.0 adalah gerakan illegal. Adanya ancaman dari kepolisian Malaysia kepada penyelenggara demonstrasi kelompok “kuning” Malaysia berdasarkan UU Majelis Damai, termasuk adanya penangkapan 26 orang dalam insiden demonstrasi. Dengan demikian, aksi demonstrasi di Malaysia cenderung minim kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah bila dibandingkan dengan aksi demonstrasi yang terjadi di Indonesia. Ketiga, regresi demokrasi berkaitan dengan porsi oposisi dalam pemerintahan. Dalam konteks Indonesia, hasil pemilu 2019 menunjukan minimnya porsi oposisi yang kuat di dalam parlemen berimplikasi pada minimnya pengawasan terhadap pemerintah, akibatnya tidak ada check and balances di dalam proses demokrasi (74% kursi DPR dikuasai koalisi pemerintah). Orientasi pemerintahan Jokowi yang ingin mengejar pertumbuhan ekonomi melalui stabilitas politik mengingatkan kita pada rezim Orde Baru yang meninabobokan rakyat Indonesia selama 32 tahun. Presiden Jokowi mestinya belajar dari kegagalan Orde Baru yang menggaungkan pembangunan dengan menciptakan stabilitas politik semu melalui pendekatan represif. Dalam sistem politik yang lebih terbuka seperti sekarang, pendekatan ini hanya akan memancing perlawanan yang lebih besar dari masyarakat. Pemerintahan dan parlemen yang dihasilkan melalui proses demokratis seharusnya juga merapkan kebijakan dan cara-cara yang demokratis pula. Hal ini cukup berbeda dengan konteks Malaysia yang memiliki oposisi kuat di dalam pemerintahan. Terpilihnya Mahathir Muhammad sebagai Perdana Menteri melalui pemilu menjadi tanda kemenangan oposisi dan keberhasilan dari gerakan demonstrasi yang pernah dilakukan. Kemunduran demokrasi di dua negara tersebut juga didasarkan pada catatan The Economist Intelligent Unit (EIU) pada Januari 2018, indeks demokrasi Indonesia mengalami penurunan dari posisi 48 menjadi 68. Sedangkan Malaysia ada di peringkat 59. Baik Indonesia dan Malaysia sama-sama memegang predikat sebagai negara cacat demokrasi (flawed democracy). Fenomena kemunduran demokrasi dipotret oleh Aspinall dkk dalam studi terbarunya tentang Elite, Massa, and Democratic Decline in Indonesia (2019), studi tersebut menunjukan satu fenomena baru bahwa mayoritas elit politik dan masyarakat secara luas mendukung demokrasi sebagai bentuk pemerintahan terbaik Indonesia saat ini. Namun perbedaan diantara keduanya adalah mengenai cara pandang dalam memahami demokrasi; politisi cenderung memegang pandangan demokrasi prosedural yang mengartikan sebatas pada pelaksanaan pemilu yang bebas, sedangkan masyarakat secara luas memiliki interpretasi demokrasi substantive yang memahami demokrasi sebagai sistem yang memberikan kesejahteraan ekonomi dan kesetaraan. Gerakan Indonesia Memanggil pada momentum peringatan sumpah pemuda kemarin sebetulnya menjadi pertanda bahwa gerakan perlawanan terhadap kemunduran demokrasi (fighting for democracy) termasuk di dalamnya narasi anti korupsi ini masih belum selesai. Dan secara mendalam gerakan ini berarti Indonesia memanggil rakyatnya untuk turut melakukan pengawasan terhadap eksekutif maupun legislatif agar tidak membiarkan reformasi kita dikorupsi. Gerakan Indonesia Memanggil adalah gerakan perlawanan terhadap kemunduran demokrasi yang dilakukan oleh elit-elit yang dihasilkan melalui proses yang demokratis. Gerakan ini adalah tuntutan untuk mengembalikan reformasi pada jalan yang benar!