Kewajiban Negara Mengatur Demokrasi Internal Partai Politik, Berdasarkan Horizontal Application of Human Rights
Oleh: Assist. Prof. Mochammad Farisi, LL.M. - Dosen Hukum Internasional Universitas Jambi & Direktur Pusat Kajian Demokrasi dan Kebangsaan (Pusakademia) Hak Politik yang Terjebak Oligarki Pasal 25 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) menjamin hak setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam urusan pemerintahan, memilih, dan dipilih. Namun jaminan tersebut masih bersifat prosedural: negara dianggap memenuhi kewajibannya bila telah menyelenggarakan pemilu yang bebas, menjamin kebebasan berserikat, dan kebebasan berekspresi. Padahal, hak politik warga tidak hanya bergantung pada keberadaan pemilu, tetapi juga pada tata kelola internal partai politik yang menjadi gerbang utama menuju kekuasaan. Partai politik adalah aktor sentral demokrasi. Ia menentukan siapa yang berhak menjadi calon pemimpin, bagaimana sumber daya politik didistribusikan, dan siapa yang mendapatkan akses terhadap kekuasaan. Jika partai dikelola secara oligarkis, tertutup, dan sarat uang, maka rakyat sesungguhnya tidak pernah benar-benar memilih. Demokrasi hanya menjadi ritual lima tahunan tanpa substansi. Krisis Demokrasi Global Fakta menunjukkan bahwa dunia sedang mengalami kemunduran demokrasi. Democracy Index 2024 yang diterbitkan The Economist Intelligence Unit mencatat skor rata-rata global turun menjadi 5,17 — rekor terendah dalam 17 tahun terakhir.¹ Sementara laporan Freedom in the World 2024 oleh Freedom House menyebutkan hanya 20% populasi dunia yang kini hidup di negara “bebas”, dan selama 18 tahun berturut-turut kebebasan global mengalami penurunan.² Laporan Varieties of Democracy (V-Dem) Institute tahun 2024 bahkan menyebut era sekarang sebagai “third wave of autocratization”, ketika partai-partai politik di berbagai negara menjadi instrumen pengendalian kekuasaan oleh elit ekonomi dan dinasti politik.³ Situasi di Indonesia mencerminkan tren serupa. Penelitian International IDEA dan Transparency International Indonesia menunjukkan partai-partai cenderung oligarkis, tidak transparan dalam pendanaan, serta dikuasai elit yang sama selama puluhan tahun.⁴ Praktik money politics dalam pemilihan umum maupun pemilihan internal partai semakin masif, menggerus kepercayaan publik dan menghambat kaderisasi berbasis merit.⁵ Artinya, krisis demokrasi tidak hanya terjadi di level negara, tetapi juga di jantung institusi demokrasi itu sendiri: partai politik. Hak Politik Bersifat Interdependent Dalam kerangka hukum hak asasi manusia, hak-hak politik tidak berdiri sendiri. Ia saling berhubungan (interrelated) dan bergantung satu sama lain (interdependent) dengan lembaga yang menjamin realisasinya. Di sinilah relevansi horizontal application of human rights: negara tidak hanya berkewajiban menghormati hak warga dari tindakan aparat negara (obligation to respect), tetapi juga melindungi warga dari pelanggaran oleh pihak non-negara, termasuk partai politik (obligation to protect).⁶ Prinsip ini termuat dalam ICCPR General Comment No. 31 Komite HAM PBB yang menegaskan bahwa negara harus “mengambil langkah-langkah positif” untuk memastikan hak-hak dalam Kovenan tidak dilanggar oleh individu atau entitas non-negara.⁷ Dengan demikian, negara tidak boleh pasif ketika partai menghambat hak politik warganya melalui sistem rekrutmen yang tidak adil, dominasi elit, atau penyalahgunaan dana politik. Dasar Hukum Internasional Kewajiban Negara Kewajiban negara mengatur demokrasi internal partai politik memiliki landasan hukum internasional yang kuat, baik dalam hard law maupun soft law. Pertama, ICCPR General Comment No. 25 (1996) tentang Pasal 25 ICCPR menegaskan bahwa hak untuk ikut serta dalam urusan publik mencakup jaminan persamaan kesempatan dan transparansi dalam seluruh proses politik.⁸ Tanpa pengaturan internal partai yang demokratis, kesempatan warga untuk berpartisipasi secara efektif akan hilang. Kedua, UNCAC (United Nations Convention Against Corruption) melalui Pasal 7 ayat (3) mengharuskan negara mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pendanaan partai politik.⁹ Korupsi yang merajalela dalam tubuh partai dan kader partai yang duduk dalam pemerintahan adalah bentuk pelanggaran hak politik warga negara untuk mendapatkan pemerintahan yang bersih. Ketiga, Universal Declaration on Democracy yang diadopsi Inter-Parliamentary Union (IPU) tahun 1997, pada Bagian II, poin 12, menegaskan tanggung jawab negara memastikan partai politik harus berfungsi secara demokratis, transparan, dan akuntabel agar dapat mewakili aspirasi rakyat.¹⁰ Selain itu, keempat, Protocol on Democracy and Good Governance (2001) ECOWAS, bahkan secara eksplisit mewajibkan negara-negara anggotanya memastikan partai politik beroperasi sesuai prinsip demokrasi dan tata kelola yang baik.¹¹. Kelima, di Eropa, Venice Commission – Code of Good Practice in the Field of Political Parties (2008) bahkan memberikan panduan rinci tentang pendirian, pendanaan, dan tata kelola partai yang demokratis, termasuk kewajiban negara untuk menetapkan standar minimum transparansi dan akuntabilitas.¹² Keenam, UN Human Rights Council Resolution 19/36 (2012) menegaskan kembali bahwa kondisi dan praktik internal partai politik termasuk dalam cakupan partisipasi politik. Untuk itu negara harus menjamin partai tidak menjalankan praktik internal yang membatasi hak politik warga ¹³ Ketujuh A Handbook on Working with Political Parties (2004) – UNDP, menekankan bahwa pembangunan demokrasi tidak mungkin tanpa reformasi kelembagaan partai politik, serta mendorong negara melakukan capacity building bagi partai agar lebih transparan dan inklusif.¹⁴ Dan terakhir kedelapan, Prinsip due diligence yang berasal dari UN Guiding Principles on Business and Human Rights dapat digunakan secara analogis: sebagaimana perusahaan wajib menilai dan mencegah dampak HAM dalam operasinya, partai politik pun harus melakukan due diligence terhadap risiko pelanggaran hak politik dalam proses internalnya.¹⁵ Keseluruhan instrumen ini menunjukkan bahwa kewajiban negara untuk menata demokrasi internal partai bukanlah intervensi politik, melainkan amanat hukum internasional dalam kerangka good democratic governance. Prinsip Good Democratic Governance Konsep good governance yang diadopsi oleh PBB dan UNDP mencakup prinsip transparansi, akuntabilitas, partisipasi, supremasi hukum, dan efektivitas. Bila diterapkan pada demokrasi, prinsip ini menghasilkan kerangka good democratic governance — yakni tata kelola demokrasi yang menjamin keterbukaan, integritas, dan partisipasi bermakna. Negara memiliki kewajiban positif untuk memastikan bahwa lembaga politik, termasuk partai, memenuhi prinsip-prinsip tersebut. Hal ini dapat dilakukan melalui tiga instrumen: regulasi, pengawasan, dan pembinaan. Pertama, regulasi harus menjamin keterbukaan partai, baik dalam hal rekrutmen kader maupun pengelolaan keuangan. Kedua, pengawasan dilakukan oleh lembaga independen — seperti komisi pemilihan atau auditor publik — yang memiliki kewenangan memeriksa laporan keuangan partai dan menjatuhkan sanksi bila terjadi pelanggaran. Ketiga, pembinaan melalui capacity building yang diselenggarakan negara bekerja sama dengan UNDP atau lembaga serupa, untuk memperkuat manajemen partai dan kaderisasi yang sehat. Menjawab Kekhawatiran “Intervensi Negara” Sebagian kalangan menilai pengaturan demokrasi internal partai akan mengancam kebebasan berserikat sebagaimana dijamin oleh Pasal 22 ICCPR. Namun pembatasan kebebasan tersebut justru diperbolehkan apabila diperlukan untuk melindungi hak orang lain atau kepentingan umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (2).¹⁶ Regulasi yang dimaksud bukanlah intervensi terhadap ideologi atau kebijakan partai, melainkan penetapan standar minimum agar partai menjalankan fungsi publiknya secara demokratis. Dengan prinsip proporsionalitas, negara dapat menyeimbangkan antara kebebasan partai dan perlindungan hak politik warga negara. Rekomendasi Konkret Untuk mewujudkan kewajiban tersebut, setidaknya terdapat lima langkah kebijakan yang dapat dilakukan negara: 1). Membuat UU Partai Politik baru dengan memasukkan konsep Sistem Integritas Partai Politik (SIPP)17, 2). Menetapkan standar minimum demokrasi internal, sesuai dengan prinsip good democrartic governance, 3). Membentuk lembaga pengawas independen yang khusus memantau pendanaan dan tata kelola partai.4). Mengintegrasikan prinsip due diligence dalam tata kelola partai, termasuk kewajiban menilai risiko pelanggaran hak politik dan melaporkan langkah mitigasi, 5). Mendorong program penguatan partai melalui pendidikan politik, peningkatan kapasitas administrasi, dan pembinaan etika publik, bekerja sama dengan lembaga internasional seperti UNDP dan IDEA. Penutup Negara yang hanya menjamin pemilu tanpa memastikan partai berfungsi secara demokratis sesungguhnya sedang menelantarkan hak politik warganya. Hak untuk memilih dan dipilih akan tetap kosong bila pintu menuju kekuasaan dijaga oleh oligarki yang menutup diri. Artinya, negara tidak boleh bersikap pasif. Reformasi hukum partai politik dan pemilu harus diarahkan pada pengaturan demokrasi internal partai: kewajiban konvensi partai terbuka, batas masa jabatan ketua umum, audit publik keuangan partai, dan mekanisme seleksi calon legislatif berbasis merit. Tanpa ini, hak politik warga negara hanya akan menjadi ritual prosedural tanpa makna substantif. Maka, mengatur demokrasi internal partai bukan sekadar pilihan kebijakan, melainkan kewajiban hukum internasional untuk mewujudkan hak politik yang substantif. Negara harus hadir — bukan untuk mengendalikan partai, tetapi untuk memastikan bahwa partai menjadi ruang partisipasi rakyat yang sejati. Negara demokratis sejati bukan sekadar memberi kebebasan memilih, tetapi juga menjamin keadilan, keterbukaan, dan integritas sistem politik yang menjadi kanal aspirasi rakyat. Karena itu, good democratic governance harus dimulai dari jantung demokrasi itu sendiri — partai politik. Catatan Kaki 1. The Economist Intelligence Unit, Democracy Index 2024: Age of Conflict, London, 2024. 2. Freedom House, Freedom in the World 2024: The Mounting Damage of Disinformation, Washington D.C., 2024. 3. Varieties of Democracy (V-Dem) Institute, Democracy Report 2024: The Autocratization Turns Viral, Gothenburg University, 2024. 4. International IDEA, The Global State of Democracy 2023: The Erosion of Democracy, Stockholm, 2023. 5. Transparency International Indonesia, Studi Pendanaan Politik dan Risiko Korupsi Pemilu di Indonesia, Jakarta, 2023. 6. Manfred Nowak, UN Covenant on Civil and Political Rights: CCPR Commentary, N.P. Engel Publisher, Kehl, 2005, halaman 33. 7. UN Human Rights Committee, General Comment No. 31: The Nature of the General Legal Obligation Imposed on States Parties to the Covenant, CCPR/C/21/Rev.1/Add.13, 26 Mei 2004, paragraf 8. 8. UN Human Rights Committee, General Comment No. 25: Article 25 (Participation in Public Affairs and the Right to Vote), CCPR/C/21/Rev.1/Add.7, 12 Juli 1996, paragraf 26. 9. United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), Pasal 7 ayat (3), New York, 2003. 10. Inter-Parliamentary Union (IPU), Universal Declaration on Democracy, Cairo, 1997, Bagian III. 11. ECOWAS Protocol on Democracy and Good Governance, Dakar, 2001, Pasal 1(b). 12. Venice Commission, Code of Good Practice in the Field of Political Parties, Council of Europe, Strasbourg, 2008. 13. UN Human Rights Council, Resolution 19/36 on Human Rights, Democracy and the Rule of Law, Geneva, 2012. 14. United Nations Development Programme, A Handbook on Working with Political Parties, New York, 2004. 15. United Nations, Guiding Principles on Business and Human Rights, Geneva, 2011, Prinsip 15–21. 16. International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), Pasal 22 ayat (2), New York, 1966. 17. Syamsuddin Haris dkk, Sistem Integritas Partai Politik (SIPP), Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pusat Penelitian Politik LIPI, Jakarta, 2017.