Penjelasan 10 (Sepuluh) Basis Pemilih Sasaran Sosialisasi Relawan Demokrasi
1. Basis Keluarga
Basis keluarga sebagai salah satu orientasi gerakan sosialisasi dan pendidikan pemilih karena keluarga merupakan unit sosial-ekonomi terkecil dalam masyarakat yang merupakan landasan dasar dari semua insitusi.
Keluarga merupakan kelompok primer yang terdiri dari dua atau lebih orang yang mempunyai jaringan interaksi interpersonal, hubungan darah, hubungan perkawinan, dan adopsi. Bahkan adapula ahli yang menyebutkan keluarga adalah abstraksi dari sebuah ideologi yang memiliki citra romantik, suatu proses, sebagai satuan perlakuan intervensi, sebagai suatu jaringan dan tujuan atau peristirahatan akhir.
Pada akhirnya semua basis pemilih yang ada di tengah-tengah masyarakat akan kembali kepada keluarganya masing-masing. Kebutuhan mereka baik secara fisik maupun psikologis anggotanya dipenuhi melalui struktur keluarga, termasuk kebutuhan sosialisasi dan pendidikan pemilih. Tidak ada seorang manusiapun di dunia ini yang dapat melepaskan diri dari lingkungan keluarga. Ketika seseorang itu melepaskan diri dari unit keluarganya, maka sesungguhnya orang tersebut telah melepaskan diri dari struktur sosial masyarakat atau menjadi asosial.
Contoh bentuk kegiatannya adalah sosialisasi dan pendidikan pemilih ke ibu-ibu arisan, perkumpulan rutin tingkat RT/RW, dan sebagainya.
2. Basis Pemilih Pemula
Gerakan sosialisasi dan pendidikan pemilih diorientasikan kepada pemilih pemula atau first time voters. Sejumlah riset menunjukkan pemilih pemula yang menggunakan hak pilihnya keika pertama kali memasuki usia memilih, mempunyai kecenderungan untuk memilih pada pemilu berikutnya. Sebaliknya mereka yang tidak menggunakan hak pilih ketika pertama kali memasuki usia memilih, kecenderungannya akan melakukan hal yang serupa pada pemilu berikutnya.
Pemilih pemula adalah mereka yang akan memasuki usia memilih dan akan menggunakan hak pilihnya untuk pertama kali dalam pemilu. Dengan siklus pemilu di Indonesia yang digelar setiap lima tahun sekali, maka kisaran usia pemilih pemula adalah 17-21 tahun. Pemilih pemula umumnya masih duduk di sekolah menengah atas (SMA) atau sederajat dan mereka yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Di luar itu, anak-anak putus sekolah yang berusia 17-21 tahun juga merupakan basis pemilih pemula yang membutuhkan sosialisasi dan pendidikan pemilih.
Pemilih pemula yang berstatus mahasiswa merupakan elemen penting dalam struktur dan dinamika politik dan demokrasi. Mereka memiliki potensi besar sebagai penggerak perubahan karena mempunyai horizon atau cakrawala yang luas di antara masyarakat. Mahasiswa sebagai kelompok yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur perekonomian dan prestise dalam masyarakat dengan sendirinya merupakan elit di dalam kalangan angkatan muda.
Contoh bentuk kegiatannya adalah sosialisasi dan pendidikan pemilih ke sekolah-sekolah (SMA/SMK/MA/Sederajat) dan sebagainya.
3. Basis Pemilih Muda
Basis pemilih muda dijadikan sebagai basis gerakan sosialisasi dan pendidikan pemilih karena jumlah mereka dalam struktur pemilih yang cukup signifikan. Mereka yang disebut pemuda sesuai Undang Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan adalah warga Negara yang berusia 16 tahun sampai 30 tahun. Dalam konteks pemilu, mereka yang disebut basis pemilih muda adalah warga Negara yang telah memiliki hak pilih dan usianya tidak melebihi 30 tahun. Dengan demikian, kisaran usia pemilih muda adalah 22 tahun sampai 30 tahun.
Pemilih muda baik yang berstatus mahasiswa, pekerja maupun belum / tidak bekerja penting mendapat sosialisasi dan pendidikan pemilih karena mereka akan mengisi struktur pemilih dalam jangka waktu yang sangat lama. Edukasi secara terus menerus dibutuhkan agar kepercayaan mereka terhadap pemilu sebagai instrumen demokrasi makin kuat dan mendalam.
Kebiasaan mereka memilih harus dipupuk dan disemai agar tidak tergerus oleh apatisme maupun pragmatisme politik yang pada akhirnya akan merusak kualitas demokrasi.
Contoh bentuk kegiatannya adalah sosialisasi dan pendidikan pemilih ke organisasi kepemudaan, mahasiswa kampus dan sebagainya.
4. Basis Pemilih Perempuan
Basis pemilih perempuan menjadi sasaran sosialisasi dan pendidikan pemilih karena mereka tidak hanya akan memainkan peran strategis dalam mengasuh dan mendidik anak ketika mereka menjadi ibu rumah tangga.
Tetapi juga dapat memainkan peran untuk memotivasi dan mengedukasi lingkungan, setidaknya pada komunitasnya. Perempuan yang berstatus ibu memiliki pengaruh yang besar dalam membentuk pengetahuan, sikap dan tingkah laku anak. Pengaruh kehidupan keluarga yang didominasi oleh peran ibu baik langsung maupun tidak langsung merupakan struktur sosialisasi politik pertama yang dialami seseorang sangat kuat dan kekal.
Pengalaman berpartisipasi dalam pembuatan keputusan keluarga dapat meningkatkan perasaan kompetensi politik si anak, memberinya kecakapan-kecakapan untuk melakukan interaksi politik, serta membuatnya lebih mungkin berpartisipasi dengan akif dalam sistem politik sesudah menjadi dewasa. Keluarga juga membentuk sikap-sikap politik masa depan dengan menempatkan individu dalam dunia kemasyarakatan yang lebih luas.
Selain perempuan sebagai sosok sentral dalam mendidik anak, alasan lain menjadikan perempuan sebagai basis sosialisasi dan pendidikan pemilih adalah :
(1) jumlah pemilih perempuan berimbang dengan jumlah pemilih laki-laki, namun kapasitasnya masih terbatas dibanding laki-laki;
(2) pemilih perempuan rentan dimobilisasi ketika pemilu maupun di luar pemilu;
(3) tingkat pendidikan perempuan rata-rata lebih rendah dari laki-laki;
(4) pemilih perempuan lebih banyak memainkan peran-peran domestik sehingga urusan publik terabaikan, padahal banyak menyangkut kepentingan perempuan.
Contoh bentuk kegiatannya adalah sosialisasi dan pendidikan pemilih ke kelompok-kelompok perempuan, ibu-ibu / emak-emak kompleks, dan sebagainya.
5. Basis Pemilih Penyandang Disabilitas
Berdasarkan Undang Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang dimaksud dengan penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efekif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Penyandang disabilitas menjadi basis sosialisasi dan pendidikan pemilih karena terdapat kecenderungan mereka tidak akan menggunakan hak pilih jika tidak ada kepastian bahwa penyelenggaraan pemilu benar-benar aksesibel terhadap keterbatasan yang mereka miliki. Untuk itu, penyelenggara pemilu harus menyosialisasikan tentang kebijakan dan bentuk layanan ramah disabilitas untuk semua jenis disabilitas. Hal ini diperlukan mengingat banyaknya ragam pemilih disabilitas dan perbedaan kebutuhan layanan dari setiap jenis disabilitas.
Contoh bentuk kegiatannya adalah sosialisasi dan pendidikan pemilih ke komunitas/masyarakat penyandang disabilitas.
6. Basis Pemilih Berkebutuhan Khusus
Pemilih berkebutuhan khusus yakni pemilih yang mencakup masyarakat di wilayah perbatasan atau terpencil, penghuni lembaga permasyarakatan, pasien dan pekerja rumah sakit, pekerja tambang lepas pantai, perkebunan, dan kelompok lain yang terpinggirkan.
Pemilih berkebutuhan khusus menjadi basis sosialisasi dan pendidikan pemilih dikarenakan minimnya informasi yang mereka peroleh, utamanya yang berkaitan dengan kepemiluan. Hal ini disebabkan karena mereka tinggal di wilayah yang mempunyai kekhususan dari aspek aksesibilitas wilayah yang sulit dijangkau, eksklusif karena tidak semua orang bisa bebas masuk ke area mereka seperti Lembaga Pemasyarakatan, Rumah Sakit dan sebagainya.
Contoh bentuk kegiatannya adalah sosialisasi dan pendidikan pemilih ke narapidana penghuni Lembaga Pemasyarakatan, pegawai perkebunan sawit, masyarakat adat dan sebagainya.
7. Basis Pemilih Marginal
Kelompok marginal menjadi basis sosialisasi dan pendidikan pemilih karena mereka tidak memiliki sumber daya, akses informasi, dan kepercayaan diri yang cukup. Mereka memiliki hak hidup dan hak berpartisipasi yang sama dengan warga Negara lainnya. Tetapi situasi dan kondisi kehidupan membuat mereka dalam posisi yang tidak berdaya dan tidak memiliki motivasi berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik.
Mereka membutuhkan sosialisasi, motivasi dan fasilitasi untuk dapat berpartisipasi sehingga secara sosial mereka tidak makin terbelakang.
Contoh bentuk kegiatannya adalah sosialisasi dan pendidikan pemilih ke masyarakat nelayan pinggiran, komunitas waria, LGBT, masyarakat miskin kota, pemulung, dan sebagainya.
8. Basis Komunitas
Komunitas adalah sekelompok orang yang saling peduli satu sama lain lebih dari yang seharusnya. Dalam sebuah komunitas terjadi relasi pribadi yang erat antar anggota komunitas tersebut karena adanya kesamaan nilai dan kepentingan. Dalam komunitas, manusia-manusia individu di dalamnya memiliki maksud, kepercayaan, sumber daya, preferensi, kebutuhan, risiko dan sejumlah kondisi lain yang serupa.
Komunitas dapat dibagi 2 (dua) komponen. Pertama, berdasarkan lokasi, di mana sebuah komunitas dapat dilihat sebagai tempat sekumpulan orang mempunyai sesuatu yang sama secara geografis. Kedua, berdasarkan minat sekelompok orang yang mendirikan suatu komunitas karena ketertarikan dan minat yang sama seperti komunitas hobi yang saat ini sedang menjadi tren di masyarakat kita seperti komunitas sepeda santai, komunitas fotografi, komunitas skateboard dan lain sebagainya.
Komunitas secara umum jauh dari akivitas politik, tetapi bukan berarti mereka miskin informasi politik. Tak jarang pula para anggota komunitas membahas isu-isu politik terkini saat menjalankan akivitas di komunitasnya. Komunitas juga memiliki tingkat kemandirian yang tinggi karena pada umumnya mereka sudah mapan dari aspek pendidikan, finansial dan pemikiran. Jika kita dapat merangkul dan memberi pemahaman kepada satu atau dua orang yang memiliki pengaruh di suatu komunitas maka anggota lainnya akan lebih mudah diajak untuk mengikuti sosialisasi dan pendidikan pemilih.
Contoh bentuk kegiatannya adalah sosialisasi dan pendidikan pemilih ke komunitas pecinta kuliner, komunitas keolahragaan, komunitas hobbi, komunitas masyarakat Jawa / Minang / Bugis / Dayak / Papua dan lain sebagainya.
9. Basis Keagamaan
Sosialisasi dan pendidikan pemilih kepada basis keagamaan selama ini diorientasikan kepada tokoh-tokoh agama saja. Akibatnya jamaah berbagai agama di Indonesia yang jumlahnya sangat besar dan tak sebanding dengan jumlah tokohnya tidak tersentuh. Sosialisasi dan pendidikan pemilih tidak mengakar kuat. Informasi pemilu dan demokrasi beredar di tataran elit keagamaan saja.
Orientasi sosialisasi dan pendidikan pemilih kepada basis keagamaan ke depan harus diubah dari gerakan yang elitis menjadi gerakan popular. Distribusi dan konsumsi informasi kepemiluan dan demokrasi harus masuk ke dalam ruang kehidupan para jamaah. Penyelenggara pemilu harus dapat bersinergi dan berkolaborasi dengan kelompok keagamaan agar dapat menggunakan forum-forum keagamaan seperti pengajian sebagai sarana sosialisasi dan pendidikan pemilih.
Contoh bentuk kegiatannya adalah sosialisasi dan pendidikan pemilih ke jamaah sholat Jumat, jemaat Gereja / Pura / Wihara / Klenteng dan lain sebagainya.
10. Basis Warga Internet (Netizen)
Peningkatan akses informasi menggunakan internet terus bertambah setiap tahun. Berdasarkan hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Tahun 2016, pengguna internet Indonesia saat ini mencapai 132,7 juta. Dari jumlah tersebut, sebanyak 70 persen dari pengguna internet Indonesia paling sering mengakses internet dari perangkat bergerak atau mobile gadget. Aktivitas komunikasi dan akses informasi menggunakan internet tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Melalui smartphone, manusia milenial dapat berkomunikasi dan mengakses informasi kapanpun dan dimanapun sepanjang tersedia jaringan komunikasi.
Intensitas komunikasi dan persebaran informasi yang begitu tinggi di dunia maya menjadi alasan bagi penyelenggara pemilu untuk menyasar basis warga internet sebagai basis gerakan sosialisasi dan pendidikan pemilih.
Penyelenggara pemilu di semua satuan kerja (satker) mesti membentuk dan menghidupkan media komunikasi berbasis internet seperti website dan media sosial seperti twitter, facebook, instagram dan platform media sosial lainnya. Diskursus politik, demokrasi dan pemilu di dunia maya harus mampu kita imbangi melalui status, kicauan dan komentar-komentar yang segar, elegan, cerdas dan mendidik.